Senin, 07 Mei 2012


PENDIDIKAN KREATIVITAS
PADA  ANAK AUTIS

PRPOOSAL TESIS

Dimajukan Pada Sekolah Pascasarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Magister dalam Bidang Ilmu Agama Islam

Oleh:

ELY SUKASIH

NIM: 08.2.00.1.12.08.0008



















SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430/2009 M






PROPOSAL TESIS
PENDIDIKAN  KREATIVITAS  PADA ANAK  AUTIS

( Studi Kasus  Sekolah Pelatihan Al-Ikhsan)























































A.   Latar Belakang Masalah
           Autis  [1] atau  autism spectrum disorder  termasuk At Risk atau sindrom aspenger, [2] yang  memerlukan penanganan khusus, atau lebih dikenal  ‘special needs’ (anak  berkebutuhan khusus).  Kesulitan dalam pemahaman autism  dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum dapat mempengaruhi proses perkembangannya untuk meraih masa depan yang lebih baik. Orang tua yang memperhatikan anaknya, pada umumnya sudah merasakan pada hati kecilnya bahwa anaknya mengalami penyimpangan perkembangan sejak masa bayi. Istilah autism diperkenalkan pertama kali oleh Dr. Leo Kanner[3] (dalam papernya Autistic Distrubance of Affectife Contact ). Kanner menyatakan bahwa sekelompok anak yang ditelitinya terlihat adanya suatu gangguan mendasar dimana anak-anak tersebut sejak awal kehidupan tidak mampu melakukan interaksi sosial terhadap orang lain atau situasi tertentu seperti halnya anak normal. Selain itu ditemukan pula adanya kegagalan dalam membangun kemampuan berkomunikasi atau terjadinya keterbatasan dalam berbahasa. Gejala lainnya adalah terjadi penolakan pada perubahan yaitu munculnya keinginan yang kuat untuk mempertahankan lingkungan sekitar tetap sama. Biasanya gangguan perkembangan ini meliputi cara komunikasi, berinteraksi sosial dan kemampuan berimajinasi.[4] Diakui bahwa ibu yang paling besar peranannya pada anak, hal ini disebabkan oleh perkembangan individu itu semata-mata tergantung pada seseorang yang paling akrab dan sering berhubungan dengannya terutama ketika menyusui. Para ahli yang mengikuti aliran nativisme berpendapat, bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (natus artinya lahir),[5]  perkembangan individu itu semata-mata dari dasar. Tokoh utama aliran ini adalah Schopenhaur, dan yang termasuk golongan ini adalah Plato, Descrates, Lombroso, dan pengikut-pengikut yang lain. Para ahli ini mempertahankan konsep bahwa ada berbagai kesamaan antara orang tua dan anaknya. Buckmisrer Fuller dalam bukunya “The learning Revolution” pernah mengingatkan, “Setiap anak terlahir genius, tetapi kita memupuskan kegeniusan mereka dalam enam bulan pertama.” Tetapi menurut peneliti anak autis juga bukan dari keturan orang tua atau akibat dari salah asuh namun banyak sekali berbagai perbedaan di kalangan para pakar. Gejala-gejala autism biasanya muncul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan pada anak gejalanya sudah ada sejak lahir. Gangguan autis ditandai dengan keterlambatan perkembangan anak, baik dalam bidang komunikasi, perkembangan motorik yang tidak seimbang, maupun dalam interaksi sosial. Saat ini para ahli di seluruh dunia melakukan diagnosis autism berdasarkan kreteria autistic disorder yang tercantum dalam DSM-IV TR 2000 (Diagnostic and Statistical Manual) yang di keluarkan The American Pshychiatric Association  (APA) . Kreteria yang digunakan  adalah kreteria klinis. DSM IV ini memuat tiga bidang impairment (kerusakan /kesulitan)  utama yang ada pada anak autism, yaitu impairment dalam interaksi sosial, impairment dalam komunikasi, serta munculnya pola tertentu yang dipertahankan dan berulang-ulang dalam hal perilaku, minat, dan kegiatan. Impairment bidang interaksi sosial antara lain di tunjukan dengan ketidakmampuan anak untuk menjalin interaksi sosial yang memadai atau adanya kegagalan dalam mempergunakan berbagai perilaku nonverbal dalam membangun hubungan. Selain karakteristik dalam impairment bidang interaksi sosial juga ditunjukan oleh ketidakmampuan anak untuk membangun atau membina hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan perkembangan usianya. Impairment dalam bidang komunikasi ditunjukan dengan adanya kererlambatan bicara, atau kemampuan bicara yang sama sekali tidak berkembang. Untuk treatment (perawatan) autis di tahun 1977, Hanen centre didirikan di School of Human Comunication Disorder (Sekolah bagi gangguan komunikasi) McGill Uneversity di Montereal. Di tahun 1995 Hanen center mengembangkan program baru, sejak itu dikenal sebagai ‘More than Words[6] untuk orang tua anak ASD (Autistic Spectrum Disorder). Dengan kata lain, orang tua tetap membuat bahasa sederhana dalam komunikasi, saling bertatap muka dengan anak autis, dan mendengarkan mereka dengan baik. Bila akhirnya anak tersebut dapat berbicara, ia tidak dapat mempertahankan pecakapan atau komunikasi dengan orang lain. Impairment dalam hal kekakuan pola tingkah laku, minat, dan aktifitas, tampak pada kegiatan yang bersifat ritual-spesifik yang dilakukan anak autis.     
           Konsep dan perkembangan kreatifitas dapat di lakukan dengan bertitik tolak pada 4P, yakni pribadi, pendorong, proses dan produk.[7] Aspek pribadi menekankan pada pemahaman anak adalah pribadi yang unik. Oleh karenanya,  pendidik haruslah menghargainya bakat dan minat yang khas dari setiap anak. Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh unesco, sebagaimana yang dikutip oleh E. Mulyasa, bahwa pendidikan harus diletakan pada empat pilar, yaitu belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to life toghether) belajar menjadi diri sendiri (learning to be), dan belajar seumur hidup (life long Learning)[8] menuntut pola pembelajaran yang mampu mengembangkan segenap multikecerdasan peserta didik. Pada dasarnya pendidikan adalah hak setiap warga negara indonesia, termasuk penyandang autis hal ini tercermin dalam konvensi Hak Anak dalam hakiki yang melindungi empat hak anak yaitu; “Kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang, perlindungan dari kegiatan yang secara potensial akan mengancam kelangsungan hidup secara wajar dan partisipasi dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan anak”. Itu berarti anak perlu diberi kesempatan dan kebebasan mewujudkanya. Kreatifitas juga dapat di tinjau dari aspek pendorong, yaitu suatu kondisi yang memungkinkan anak berperilaku kreatif. Sedangkan kreativitas [9] sebagai proses lebih menekankan pada pemahaman kemampuan anak menciptakan sesuatu yang baru, paling tidak menemukan hubungan-hubungan jawaban antar berbagai unsur. Ketiga  aspek  inilah yang akhirnya menentukan kualitas produk kreativitas. Pada anak yang masih dalam proses pertumbuhan, aspek kreativitas sebagai proses perlu mendapatkan penekannan. Jangan terlalu menuntut produk kreativitas [10] yang memenuhi standar tertentu, karena hal itu akan mengurangi kenikmatan anak berkreasi.[11] Anak Taman Kanak-kanak diharuskan mengikuti contoh gambar, mewarnai menurut contoh, atau menggunting berdasarkan pola, produknya tidak bisa disebut sebagai kreativitas. Sinyalemen institusi pendidikan di tanah air belum secara optimal mewadahi pengembangan kreatifitas anak. Menurut Malik fadjar, system pendidikan seyogyanya melatih kemampuan divergen, sehingga manusia memungkinkan untuk menjelajahi berbagai alternatif. Di sekolah anak dilatih hanya untuk mencari satu jawaban dari suatu persoalan, jawaban harus bersifat tunggal dan seragam, sesuai dengan keinginan guru dilihat dari aspek pentingnya meningkatkan daya kreativitas anak sebagaimana tertuang dalam GBHN 1993, demikian yang dikatakan oleh Sri Utami Munandar guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Menurut Khotijah dalam tesisnya di Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah mengatakan bahwa banyak  ilmuwan syaraf [12] yang menggambarkan sekolah sebagai lembaga “separo otak” karena dalam aktifitas pendidikan dan pengajaran sangat menuntut anak untuk meraih ketrampilan dalam belahan otak kiri saja.[13] Namun pada pelaksanaan di lapangan menunjukan,  kreativitas anak kurang mendapat kesempatan secara optimal. Iklim pendidikan formal bukan saja belum memberi porsi memadai bagi pengembangan kreativitas anak, dalam hal-hal tertentu justru bersifat menghambat. Keunikan anak sebagai pribadi dan kreativitas adalah berfikir divergen, yang menghargai perbedaan-perbedaan dalam mengekspresikan pendapat terhadap suatu persoalan justru ditutup. Dalam pendidikan semacam ini imajinasi anak tidak berkembang. Kreativitas yang muncul dari orisinalitas pemikiran individu kurang mendapat tempat. Karena jawaban suatu persoalan bersifat tunggal dan seragam, anak lalu tidak dilatih melihat persoalan itu dari berbagai perspektif. Maka perlu adanya metode untuk dapat memastikan bahwa anak autis itu membutuhkan bimbingan. Karena anak yang mengindap sindrom[14]asperger cenderung memiliki kemampuan membaca, mengeja, dan berhitung yang sangat hebat,[15] namun memiliki beberapa kesulitan dalam mengonseptualisasikan dan mengapresiasi pikiran-pikiran serta perasaan-perasan orang lain.  Kecerdasan logis matematis dan verbal linguistik memang sering dikatagorikan sebagai kecerdasan intelektual yang dulu sering dianggap sebagai faktor kepintaran seseorang. Padahal ada kecerdasan visual spasial, musical dan kinestetik-jasmani yang juga bisa mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam dunia kerja. Tiga kecerdasan berikutnya, yakni naturalis, intrapersonal dan  interpersonal dapat membantu seseorang untuk meraih kesuksesan dalam berkarir, berkeluarga dan hubungan antar sesama, karena kecerdasan ini mencakup kemampuan membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, serta hasrat keinginan diri sendiri dan orang lain. Salah satu peneliti yang mendukung kecerdasan ini adalah daniel goelman, yang terkenal bukunya, “Emotional intelligence.”[16] Multi kecerdasan bukan konsep baru, plato dalam pernyatannya “jangan gunakan paksaan, tetapi biarkan pendidikan awal menjadi sesuatu yang menyenagkan; anda akan lebih mudah menemukan bakat-bakat alam”.[17] Salah satu cara yang dilakukan orang tua terhadap  anak autis dengan pendampingan yang intensif. Pendampingan yang dimaksud disini bukan sekedar menemani, tetapi memastikan adanya interaksi aktif antara anak dengan pengasuh yang ada di sekitarnya. Tujuan pendampingan intensif untuk meningkatkan pemahaman anak yang umumya cenderung terbatas. Pendampingan ini dimulai sejak anak mulai membuka mata, hingga ia tertidur kembali dimalam hari.[18] Saat pendampingan intensif tugas siapapun yang menemani anak untuk memberikan informasi dan pengalaman dalam berbagai bentuk kepada anak. Otak manusia begitu mempesona, jutaan kumparan berkelip membentuk pola tertentu dari pola-pola yang lebih kecil, penuh arti dan tak kunjung diam, dengan perubahan-perubahan harmonis. Bagai galaksi bima sakti memasuki kosmik yang berdansa kata Sir Charles Sheringrton.[19] Kita disarankan untuk tidak membiarkan anak sendirian tanpa melakukan apa-apa. Berikan pengalaman sebanyak mungkin, disertai pengarahan serta menjelaskan kejadian yang ia alami dan memberi makna pada hidupnya. Namun jangan layani anak autis setiap saat, karena cenderung tidak berdaya bila terus dibantu. Menurut Holmes ketidak berdayaan yang dipelajari (Learned helplessness) bagi penyandang autis cenderung belajar tidak berdaya sambil mendapatkan apa yang ingin mereka inginkan. Sebaliknya keadaan tidak berdaya merampas seorang autis dari hak-hak untuk hidup mandiri, menentukan sendiri apa yang ingin ia lakukan dan bagaimana ia melakukanya. Keadan tersebut seolah mengizinkan mereka untuk berperilaku tidak sewajarnya, karena mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri.
          Menurut pendapat  Linda A. Hodgdon ada beberapa langkah yang dapat membantu orang tua terhadap anak autis dengan cara observasi perilaku mengingat kebanyakan perilaku didasari kebutuhan tertentu sehingga dapat mendiskripsikan situasi yang terjadi dan dapat observasi dan pencatatan. Dalam tulisan ini akan dibahas teknik sederhana untuk menangani anak autis yaitu dengan metode ABC [20]( Atencendent: apa yang terjadi sebelum perilaku terjadi, Behavior: apa yang dilakukan anak, Consequence: apa yang terjadi sesudah perilaku). Contohnya: Ita sedang bermain dengan puzzle. Ibu guru ely mendatangi dan mengajak ita duduk di teras (Consequence). Ita langsung berteriak dan menangis kencang (Behavior). Apa sebabnya ? Ternyata sebelum bu guru ely mendatangi dan mengajak Ita, Ibu yuni sambil berlalu di depan Ita mengatakan (Atencendent) “Hati-hati duduk di teras, ada ulat bulu“ tanpa disadari Ita mendengarkan perkataan tersebut. Jadi  Ita, bukan takut dengan bu guru ely  tetapi karena membayangkan ada ulat bulu di teras dan dia diminta untuk mendekatinya. Ivor Lovaas menggunakan metode Applied Behavioral Analysis yaitu penanganan intervensi dini menggunakan one-on-one atau satu guru satu anak. Komponen ini one-on-one menjadi penting pada proses belajar awal pada anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhannya serta imitasinya. Kecenderungan orang tua panik dan mengharapkan hasil yang terbaik sehingga membuat mereka menjadwalkan penanganan intensif tersetruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila penanganan di luar tersetruktur tersebut tidak ada penanganan (terapi) yang ia terima sangat kaku. Dalam hal ini penulis sependapat dengan metodologi yang di kemukakan oleh Ivor Lovaas dan Linda A. Hodgdon tentang terapi observasi dan  tingkah laku sejak dini  kepada anak autis sehingg dapat memetakan multiple intelgence yang sedang berkembang pada anak tersebut dan dapat diketahui kemampuanya pada kinestetik, visual/spasial, musical.  Kemampuan pada kinestetik jasmani telah ada pada awal pertumbuhan pendidikan Islam itu sendiri. Perhatian Nabi dan pentingnya ketrampilan fisik dengan menyuruh sahabat untuk melatih menunggang kuda, memanah, renang dan ketrampilan hidup menjadi bukti tingginya perhatian islam pada optimalisasi kecerdasan tersebut ”Seorang mu’min yang kuat lebih dicintai Allah daripada seorang muslim yang lemah.”(HR.Muslim). Al-Quran juga menggambarkan perkembangan fisik manusia berdasarkan QS. Ar-Ruum: 54 yang dibagi menjadi empat kondisi fisik. Pertama, tahap lemah yang ditafsirkan terjadi pada masa bayi dan kanak-kanak; kedua, tahap menjadi kuat yang terjadi pada masa dewasa. Ketiga masa menjadi lemah kembali, terjadi penurunan kembali dari masa penuh kekuatan, dan keempat, dimana orang sudah beruban, atau masa tua. Gambaran serupa juga diulang pada QS. Al-Mu’minun: 67 dan Al-Hajj: 5. Terinspirasi dengan ayat-ayat di atas, Gummi [21](1922-1992) menyatakan bahwa, banyak Ulama Muslim yang kemudian mencoba menyusun tahap perkembangan manusia.[22]  Adapun kemampuan visual/spasialk  kecerdasan visual spasial telah akrab dengan Islam, pada abad kesebelas dan kedua belas masehi. Alam semesta merupakan hasil karya kecerdasan visual spasial yang Maha Tinggi[23]. Keterkaitan antara warna, garis, bentuk dan ruang menjadi fenomena yang sangat indah.[24] Keindahan tersebut merupakan seni visual spasial pencipta yang bersifat multidemensional. Tradisi seni lukis telah berkembang di Negeri Islam seperti Persia dan negeri-negeri tetangga serta pengaruh Cina dan Byantium ikut mendorong perkembangan itu. Hal ini terbukti dengan adanya uraian tentang seni lukis karya sastra yang ditulis pada abad tersebut, misalnya dalam Shahnamah (tahun 1009M) karya firdausi, Iskandar-namah dan Khamza karya Nizami (tahun 1202M). Keterangan lain juga dijumpai dalam kitab karangan Imam Al-Ghazali (tahun 1111 M) seperti Ihya Ulumuddin dan Kimiya’ Al-Sa’adah.[25]  Selain seni lukis, juga berkembang luas dalam Islam seni kaligrafi.[26] Seni kaligrafi modern mula-mula muncul di Iraq dan Iran pada Tahun 1950-an, kemudian berkembang ke Negara-negara Islam Lainya. Diantara pelopornya adalah Syakir Hasan (iraq), Husain Zenderaudi (Iran), Quraishi (Palestina), kamal Baulatta (Aljazair) M. Omar dan Muhdi Qothbi (tunisia). Di Indonesia seni tersebut mulai muncul pada tahun 1960-an. Perkembangan kian luas dan mendapat sambutan masyarakat pada sekitar tahun 1970-an.[27] Teori yang berlaku bahwa kaligrafi sangat berkembang karena aksennya tradisi lukis dalam Islam karena hambatan teologis dalam seni lukis, di samping kaligrafi sarat dengan al-qur’an. Tidak ada alasan teologis yang menjelaskan mengapa gambar tidak dapat digunakan malahan, ada tradisi gambar yang signifikan dalam Dunia Islam. Adanya artefak masjid, lukisan, seni keramik, dan sebagainya, dan sebagainya merupakan kreativitas dan yang memantulkan kebanggaan akan keahlian para seniman visual-spasial dalam menghasilkan karya seni yang indah.[28] Kecerdasan musik tidak hanya dekat dengan manusia namun suatu bagian yang tak terpisahkan. Musik telah menjadi isu yang penting semenjak permulaan Islam. Musik tidak hanya sebagai hiburan namun sebagai sarana dakwah. Melalui musik, ekspresi kebahagiaan dan pesan-pesan moral keagamaan ditampakan dan dijabarkan ketika Nabi muhhamad datang ke Madinah dengan sambutan Sholawat Badar di sertai musik perkusi yang telah membangkitkan semangat Islam. Sejarah perkembangan dakwah Islam, ternyata penuh dengan percikan seni keindahan. Dan seni musik telah menjadi bagian amat penting dari keseluruhan sejarah penyebaran ajaran Islam di Seluruh Dunia.[29]Dalam sejarah awal pendidikan Islam, studi tentang musik merupakan mata pelajaran pilihan sebelum seseorang menempuh pendidikan kedokteran, karena musik dapat mengembangkan apresiasi terhadap kepekaan rasa. [30] Menurut Al-Kindi, musik adalah sistem harmoni yang berhubungan dengan keseimbangan lahiriah dan emosional yang berhubungan dengan keseimbangan lahiriah dan emosional, dan dapat digunakan sebagai kajian musik sebagai terapi penyeimbangan.[31]  Menurut Andres Segovia, sebagaimana dikutip Don Campbell dalam “Efek mozart Bagi Anak-anak” dikatakan bahwa musik adalah penggugah perasaan yang paling cepat.[32] Al-farabi, yang telah mempelopori kajian musik dalam Islam adalah seorang teoritisi musik yang banyak berperan dalam menyusun nada Arab dan membagi oktaf hingga 24 interval yang ekuievalen.[33] Selanjutnya teori musik tersebut dikembangkan oleh para ilmuwan hingga berhasil menciptakan sistem notasi dan hiasan melodi (gloss) yang pada saat itu barat hanya baru mengenal sistem notasi. Ketika  musikus Barat baru mengenal  Chitara dan Harpa, musikus  Muslim telah mampu menciptakan kecapai, pandore, gitar dan alat busur. Studi-studi musikal Islam yang diprakarsai oleh para teoritikus, seperti; Al-Kindi, Avicenna dan Al-Farabi yaang diterjemahkan ke bahasa Hebrew dan latin sampai periode pencerahan Eropa menjadi rujukan para penulis musikolog Barat; seperti: Gundisalvus, Robert Kilwardi, Ramon Lull, Adan de Full, George Reish dan lain-lai khususnya pada  dua buku musikal Farabi “Descientis” dan “De Ortu Scientiarum” setelah tahun 1200.[34] Menurut Ibnu Khaldun, seiring dengan berkembangnya peradaban, bentuk-bentuk artistik pun menjadi lebih kompleks sehingga pembacaan Al-Qur’an yang semula dihubungkan dengan kesederhanaan hidup suku-suku Arab, kemudian menjadi lebih kompleks, dengan melibatkan tingkat keselarasan dan musikalitas yang pada masa awal Islam terbilang sangat mewah.[35] Namun ada sebagian kalangan muslim yang menolak musik, berdasarkan pemahaman Al-Qur’an QS Al-Mu’minun: 3. Kata Laghw dari kata laghaa  yang berarti batal, yakni sesuatu yang seharusnya tidak ada tindakan. Ini dapat berbeda antara satu waktu, hal dan situasi lainya, sehingga bisa saja dinilai tidak memiliki pengaruh positif sehingga menjadi lahgaw, dan lain di pihak ia dapat memberi pengaruh yang positif. Apa yang haram dan makruh, sejak semula harus ditinggalkan, dan bukan termasuk katagori laghaw. Laghaw pada dasarnya adalah hal-hal yang bersifat mubah, yakni sesuatu yang tidak terlarang, tetapi tidak ada kebutuhan atau manfaat yang diperoleh ketika melakukan.[36] Multiple Intelegence menurut Howard Hardner sebelum di tambah tiga lagi multikecerdasan ada delapan kecerdasan diantaranya; cerdas bahasa (linguistik), cerdas gerak (kinestetis-jasmani), cerdas bergaul (intrapersonal), cerdas musik (musical), cerdas angka (logis-matematis), cerdas diri (intrapersonal), cerdas alam (naturalis). Namun peneliti membantah teori David L. Holmes karena anak akan cenderung menjadi ketergantungan dan tidak mampu untuk berupaya serta bertanggung jawab. Padahal dalam kehidupan justru kemampuan untuk melihat berbagai alternatif penyelesaian atas suatu persoalan itulah yang diperlukan. Kesempatan bereksperesi, mengembangkan kreatifitas pasti akan terhambat, yang dikembangkan oleh sekolah justru kekakuan. Inilah yang menghambat penggembangan kreatifitas.[37]Penelitian telah banyak dilakukan dalam rangka menemukan jawaban atas pertanyaan tentang sejauh mana peranan  tingkah laku dan sikap ibu terhadap anak dalam periode perkembangan.[38] Sejauh penelitian  dilakukan, Islam telah menjelaskan dalam sebuah hadits ”Al-mar’atu ayil ro’iatun fii baiti zaujiha wa masuliyatun ‘an ro’iatuha”.[39] Ibnu Sina juga mengatakan, “Pendidikan anak harus dimulai dengan membiasakan hal-hal yang terpuji semenjak ia disapih, sebelum meresap kepadanya kebiasaan jelek yang sulit untuk menghilangkannya. Jika memungkinkan untuk menggunakan siksaan, maka harus dengan sangat hati-hati. Mereka jangan diberi cela dan kekerasaan tetapi dengan kasih sayang dan lemah lembut.[40] Orang tua sesungguhnya, menurut Li Barkah dalam dalam tesisnya 2002, sebagai fasilitator dalam pembentukan anak agar pembentukan kepribadianya berlangsung optimal.
             Pendidikan sekolah lebih menuntut konformitas alias keseragaman. Apa yang disebut berfikir divergen dari keunikan itu kurang dihargai. Kreativitas masyarakat yang telah terbelenggu dengan pendekatan penyeragaman (uniformity) dalam berbagai  bentuk doktrin politik pemerintahan Orde Baru, harus diakhiri.[41] Oleh karena itu metodologi pendidikan perlu di benahi agar dapat mengoptimalkan kemampuan potensi pada anak. Melalui pendidikan untuk dan semua untuk pendidikan, masyarakat harus dibebaskan dari semua belenggu sehingga mereka lebih berdaya untuk memperoleh keadilan dan pemerataan di atas pilar-pilar kebinekaan. [42]Dalam hal ini penulis ingin mengkaji tentang kemampuan perkembangan anak autis dilihat dari aspek metodologi,  langkah-langkah apa yang akan dicapai dalam  mengoptimalkan potensi anak autis, dan metodologi apa yang sesuai dengan keadaan kemampuan anak autis. Thomas Armstrong dalam bukunya Awakening Your Child’s Natural Genius anak autis dapat berkembang, hanya saja terbatas  pada saat dia punya manfaat untuk orang banyak. Misalnya Eileen seorang autis yang mampu mengetik dua kali lebih cepat dari Sekretaris Profesor, tetapi dia tidak bisa interaksi secara normal. Salah satu bekas penyandang autis yang telah mendapatkan penanganan sejak dini adalah Temple Grandin, dimana dengan tekun dan kegigihanya telah mencapai potensi maksimalnya yaitu telah sanggup menyelesaikan pendidikan strata tiga, dengan memperoleh gelar Philoshopy of doctor (Ph.D). Keberhasilan itu tidak terlepas dari jasa para gurunya dengan bimbingan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Orang tua yang tidak bisa memberikan pelayanan yang baik dan tidak sesuai dengan keinginan anak akan mudah ‘tantrum’.[43] Tantrum bisa dikendalikan  sejak dini jika orang tua mampu menanganinya ketika anak beranjak dewasa  dan tantrum yang terburuk akan berlalu pada usia tiga atau empat tahun. Tantrum sering terjadi ketika perasaan seorang anak lepas kendali  seperti air mendidih dan meluap. Yang menarik dalam hal ini, jenis keluarga serta lingkungan sosial anak tersebut tidak dapat memprediksi anak mana yang akan “keluar jalur”. Hal ini menunjukan pentingnya ketrampilan pengasuhan anak dan peran orang tua untuk mengambil seluruh langkah yang perlu untuk mengatasi tingkah laku  anak autis dan menghilangkan tantrumnya.  Siapapun dia yang lahir dalam keadaan mental yang normal, mereka adalah genius-genius besar yang sudah dibekali Allah dengan percaya diri tinggi, semangat besar, antusias, dan senantiasa belajar. Di usia awal kehidupannya hingga menginjak tahun keenam, mereka belajar ‘tanpa usaha’ menurut istilah Glen Domen, tapi menurut Muhamad Faudzil Adhim tidak sepenuhnya sepakat dengan ungkapan Glen Domen bahwa anak manusia dikaruniai daya tangkap yang luar biasa atas setiap perkara yang diajarkan kepada mereka merupakan pelatihan dalam pembelajaran. Ingatlah bahwa anak mempunyai kepribadian, ketrampilan dan sifat yang unik. [44]  Indra-indra yang kita miliki, entah siapapun atau apapun kita adanya, memberi sarana yang kita perlukan. Kenyatanya banyak   anak  yang mengalami gangguan mental atau lebih spesifik; autis dapat berkembang  sangat signifikan. Ternyata  mereka dapat menjadi pemikir dan merespon dari kemampuan siswa yang berbeda, karena perbedaan ras, keturunan, dan budaya.[45] Kubie menyatakan bahwa, kreatifitas  merupakan indicator kesehatan mental yang tinggi.[46] Orang yang kreatif adalah mereka yang tetap mempertahankan kemampuan sejak masa kanak-kanak untuk menerima apa pemahaman  dan juga apa yang mereka tidak pahami, lagi pula tampaknya mereka menikmati untuk memasuki keduanya. Mereka bukan tidak menghormati pengetahuan konvensional, melainkan tidak mengaguminya. Orang dewasa yang kreatif tidak pernah yakin apakah mereka tetap mempertahankan penerimaan mereka terhadap sesuatu yang tidak di ketahui masa kanak-kanak, ataukah mereka mempelajari kembali. Namun siapapun dapat mengembalikan akses pada alam prasadar atau menemukan suatu jalan baru. Orang yang kreatif itu menyenangkan,  kecerdikan akal mereka mengilhami kehidupan sehari-hari. Mereka berhubungan dengan orang lain secara terbuka dan setia. Mereka jauh lebih jarang mengalami penyakit yang di timbulkan oleh stress dan menyambut gembira perubahan-perubahan yang tak terduga, baik yang mengembirakan maupun menyedihkan dengan semangat petualangannya sendiri. Hasil survey yang di ambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2-3 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang autis dengan rasio perbandingan 1: 3 untuk anak laki-laki dan perempuan.[47] Oleh karena itu penelitian ini mencoba menemukan metodologi pengembangan kreativitas anak autis sehingga anak autis dapat mencapai sukses besar dan mampu berkembang dengan baik.    
1. Identifikasi Masalah
             Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut: pertama, kreativitas anak autis bisa bekembang dan dapat hidup layak seperti anak normal, hanya saja ia tidak dapat berinteraksi secara normal. Kedua, langkah-langkah serta implementasi terhadap pendidikan  potensi kreativ anak autis ‘special needs‘ agar optimal quality, yaitu berkembang secara optimal dan mampu survive dalam hidup. Ketiga, metodologi dan strategi pendidikan anak autis sehingga anak autis dapat mencapai sukses besar dan mampu berkembang dengan baik.
 2. Pembatasan Masalah
             Penelitian ini dilakukan dalam upaya menemukan langkah efektif dalam mengembangkan potensi kreativitas anak autis dari aspek metodologi sehingga anak autis dapat menjadi “benefeditas“ dalam masyarakat, atau dengan kata lain,  dapat menempatkan kreativitas dalam daerah dan dapat berdaya guna bagi dirinya dan orang lain. Dalam penelitian ini dapat diimplementasikan pada penerapan teori multi kecerdasan dalam kegiatan riil yang meliputi bagaimana kegiatan dilaksanakan, fasilitas yang mendukung pelaksanaan tersebut, Sumber Daya yang terlibat di dalamnya, dan berbagai kendala yang menghambat pelaksanaannya. Konsep multi kecerdasan dalam penelitian ini adalah penerapan teori multikecerdasan oleh Howard Gardner, Thomas Amstrong, dan Linda Campbell dkk. [48] Implementasi pengembangan kecerdasan logis matematis anak autis dibatasi pada pendidikan kemampuan mengenal konsep-konsep yang bersifat kuantitas, kemampuan siswa mengunakan simbol-simbol abstrak untuk menunjukan secara kongkrit, baik obyek maupun konsep, ketrampilan anak memecahkan masalah secara logis, kemampuan siswa memahami pola-pola dan hubungan-hubungan, kemampuan anak autis menggunakan ketrampilan matematis seperti estimating, calculating alogaritsme, interpreting statistics, kemampuan santri menyukai operasi kompleks seperti fisika dan pemrograman komputer. Implementasi pengembangan kecerdasan visual spasial anak autis di batasi pada pengembangan kemampuan anak autis memvisualisasikan gambar secara detail, kemampuan anak autis membaca grafik, bagan, peta, dan diagram, kemampuan anak autis menikmati gambar-gambar tak beraturan seperti lukisan ukiran. Kemampuan anak autis merubah sebuah bentuk menjadai bentuk lain, dan kemampuan anak autis menciptakan gambar nyata atau mendesain dari informasi atau imajinasi. Implementasi pengembangan kecerdasan kinestetis- jasmani anak autis di batasi pada pendidikan kemampuan anak autis menjelajahi lingkungan melalui sentuhan dan gerakan, kemampuan anak autis belajar dengan langsung terlibat dan berpartisipasi menikmati secara kongkrit dalam mempelajari pengalaman, kemampuan anak autis untuk sensitif dan responsif terhadap lingkungan dan sistem secara fisik, dan kemampuan anak autis mendemonnstrasikan keahlian fisik atau tangan. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi anak autis untuk merealisasikanya. Pendidikan pada Sekolah Pelatihan Al- Ikhsan yang terletak di Villa Melati serpong adalah salah satu yayasan yang tengah berupaya menjawab tantangan tersebut. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, penulis memilih aspek yang terkait dengan upaya efektif pengembangan kreativitas anak autis, yaitu metodologi dan langkah-langkah strategis pendidikan dalam pengembangan anak autis yang optimal quality, yaitu berkembang secara optimal dan mampu survive dalam hidup dilandasi spiritual emotions yang tangguh dan bertanggung jawab dalam menghadapi kehidupan yang global.
C. Perumusan Masalah
            Berdasarkan pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan yang hendak  dijawab pada kesimpulan penelitian ini sebagai berikut : Bagaimana metodologi pendidikan  pada anak autis agar menjadi optimal quality  dan benefeditas ?
D.  Penelitian Terdahulu yang Relevan
            Penelitian terdahulu yang relevan lebih mengkhususkan pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian tentang anak autis. Penelitian anak autis pernah dilakukan oleh Chris Williams dan Barry Wright. Dalam penelitian ini Chris William menemukan  jumlah anak autis yang dapat berkembang dan dapat mencapai kesuksesan yang besar, sangat terlatih dan punya pengetahuan yang berbeda.[49] Penelitian tentang anak  autis juga dilakukan oleh Eko Handayani yang ditulis dalam tesisnya berjudul Autism pada Twins: Studi kasus pada suatu pasang anak kembar yang mengalami Autistic Disorder, Jakarta: Universitas Indonesia. Dalam tesisnya disimpulkan deteksi dan intervensi dini pada anak-anak penyandang autis sangat penting  untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan semakin cepat  seorang anak diketahui sebagai penyandang autis maka akan semakin cepat pula berbagai upaya yang tepat dapat dilakukan untuk membantu perkembangan anak. Keterlambatan intervensi atau penanganan akan membuat anak memerlukan waktu yang lebih panjang untuk mengejar ketertinggalannya. Peneliti disini lebih menekankan pada metodologi dan strategi pendidikan kreativitas anak autis serta langkah yang akan ditempuh agar mencapai sukses besar dan mampu berkembang baik dengan metode Ivor Lovaas. Penelitian ini juga mendukung paradigma  Howard Gardner tentang multikecerdasan dalam “frame of Mind[50] yang pada awalnya mengguncang dunia psikologi yang saat itu beranggapan bahwa IQ lah yang menjamin kesuksesan hidup seseorang. Karya tersebut memaparkan bahwa disamping IO masih banyak kecerdasan lainya yang juga memiliki andil yang besar untuk mencapai kesuksesan seseorang dalam menjalani hidupnya. Teori ini memasuki dunia pendidikan kontemporer dengan “multiple inteligences: The Theory in Practice” dan selanjutnya dikembangkan lagi dengan menambahkan tiga kecerdasan lainya (kecerdasan naturalis, spiritual, dan eksistensial dalam “mind Reframed”nya.
E. Tujuan  dan Manfaat Penelitian
            Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kesimpulan empirik dan gambaran yang jelas tentang upaya pengembangan kreativitas anak autis. Mendapatkan gambaran tentang implementasi  multikecerdasan  khususnya di Sekolah Pelatihan Al- Ikhsan di jl. Villa Mas Blok 10 no. 4 Serpong: Tanggerang, sehingga anak autis dapat menjadi ‘benefeditas’ bagi dirinya maupun orang lain.  Implementasi kecerdasan logis-matematis, implementasi kecerdasan visual-spasial, implementasi kecerdasan kinestetis-jasmani. Dengan tercapainya tujuan di atas, hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan gambaran yang komperhensif tentang perkembangan kreativitas anak autis. Manfaat penelitian yang diperoleh secara teoritis adalah sebagai berikut;
    a.  Pada bidang kelembagaan, yaitu sekolah pelatihan Al-Ikhsan adalah sebagai landasan pembelajaran untuk melakukan berbagai kebijakan yang dapat meningkatkan upaya Sekolah dalam memaksimalkan pembelajaran yang berbasis multi kecerdasan para anak autis.
      b. Pada fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan adalah menambah wawasan untuk melakukan tindakan inovatif dalam mengupayakan model pembelajaran yang lebih professional melalui langkah kebijakan dalam menciptakan pendidikan yang professional.
c. Bagi Masyarakat umum sebagai kajian awal dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang dapat dijadikan bahan kajian umum pada masa akan datang.
d.  Manfaat pada bidang keilmuan adalah menambah refrensi karya Ilmiah di bidang pendidikan. Adapun manfaat yang ingin dicapai secara praktis adalah sebagai berikut;
a. Bagi peneliti adalah untuk mendapatkan pengalaman dan cakrawala berfikir mengenai, karakteristik, metodologi strategi serta model pembelajaran berbasis multikecerdasan.
       b. Penelitian ini diharapkan dapat membuka kemungkinan kegiatan pembelajaran yang mampu mengakomodir multikecerdasan pada anak autis, serta mengarahkan kecerdasan yang telah berkembang ketaraf  yang lebih tinggi.
F.  Metodologi Penelitian
              Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif kualitatif[51] dengan menggunakan paradigma alamiah dan berupaya mengungkapkan keunikan individu dalam kehidupan sehari-hari. Artinya penelitian ini mengasumsikan bahwa kenyataan-kenyataan empiris terjadi dalam suatu konteks sosio–kultural yang saling terkait satu sama lain. Karena itu menurut paradigma alamiah setiap fenomena sosial harus di ungkap secara holistik tanpa perlakuan manipulatif[52]. Penelitian ini berangkat dari fakta sebagaimana adanya bukan dari teori tetapi akan menghasilkan teori yang sering di sebut grounded theory[53](teori dasar). Penelitian ini menggembangkan perspektif yang akan digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas, karena itu peneliti tidak menggunakan preposisi yang berangkat dari teori melainkan menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui bersama serta tidak mungkin dinyatakan dalam bentuk preposisi dan hipotesis. Penelitian ini juga mengunakan penelitian explorasi dengan pendekatan studi kasus. Penelitian exsplorasi,  jika berupaya menggali topik atau isu baru untuk dipelajari atau jika peneliti-peneliti lainya hanya sedikit menuliskan tentang hal ini.[54] Menurut Neuman jika dalam suatu penelitian mungkin secara intensif menyelidiki satu atau dua kasus dan memfokuskan pada beberapa faktor.
1. Sumber Data
          Sumber  data  dalam penelitian ini, penulis peroleh dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari para informan yang banyak mengetahui tentang masalah anak autis di Sekolah Pelatihan Al-Ikhsan serpong tanggerang, terutama terkait dengan kurikulum dan metodologi pendidikan  kreativitas anak autis. Sedangkan data sekunder didapatkan dari berbagai catatan atau dokumentasi Yayasan Autis Indonesia dan Sekolah Pelatihan Al-Ikhsan yang sifatnya mendukung otentisitas data primer.
2. Teknik Pengumpulan data
            Teknik  pengumpulan data yang  digunakan adalah wawancara  (interview), observasi (observation), dan dokumentasi (documentation). Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisa data kualitatif yang bertujuan menemukan arti dari informasi yang telah dikumpulkan. Analisa data terdiri dari beberapa tahap.[55] Penulis melakukan wawancara mendalam (in deep interview) tentang anak autis di Sekolah Pelatihan Al-Ikhsan dan Yayasan Autis Indonesia Buncit kepada pimpinan dan pengurusnya,  guru,  murid, dan masyarakat di sekitarnya. Observasi yang penulis lakukan pada umumya observasi partisipan, yaitu observasi langsung pada objek yang di observasi agar dapat menangkap fenomena alamiah.  Dalam penelitian ini juga dilakukan pengamatan secara langsung baik dengan melihat atau mendengar pada subjek penelitian agar pengamatan terarah maka dibuat pedoman observasi. Pengamatan difokuskan pada kemampuan interaksi, kemampuan bahasa dan perilaku khas penyandang autis Sedangkan pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan teknik penarikan sampel secara acak atau non probality sampling yang biasanya dipakai dalam penelitian kualitatif. Adapun jenis non probability sampling yang digunakan adalah purposive sampling, dimana informan dapat memberikan keterangan yang mendalam terhadap masalah sesuai tujuan penelitian dan ketersediaan di lapangan .

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayuthi. Metodologi Pendidikan Agama, Pendekatan Teori & Praktek
             Jakarta :  Raja Grafindo Persada, 2003.
Amstrong, Thomas. Awakening Your Child’s Natural Genius, Los Angeles:
              Jeremy P. Tarcher, 1999.
American Psycihatric and statistcal manual of Metal Disorders. DSM-IV-TR.
            2004.
Abdul Hadi W. M., Islam Cakrawala, Estetika, dan Kebudayaan, Sebagaimana
            dikutip Euis Sri Mulyani, Panduan Pengajaran seni dalam Islam. Jakarta:
            Penamadani 2003.
Alston, M, and Bowes, W. Research  For Social Worker: An Introduction to
            Methods, Melborne: Allen &Unwin 1998.
Abdurahman Al-jauzi,  Al-Thibb al-Ruhani, Cet. al-Taraggi, 1348,h. 44
Bobbi, DePorter & Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan Belajar
            Nyaman dan Menyenangkan. Bandung : Mizan Pustaka, 2005
Biklen, Knop and Bogdan, Robert C.. Theories and Methode. Boston: Allen
        Publishing, 2003.
Buckminster Fuller. our Child’s Natural Genius. Los Ageles: Jeremey P. Tarcher,
          1991 .
Children Today, (torrance USA: Jalmar Press, 1999) diterjemahkan oleh Rahmani Astuti,  Revolusi Belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain Untuk
            Bembuka Pikiran Anak-Anak Anda, (Bandung: Kaifa,20020 cet. I,
Cyril Elgood,  A Medical History of Persia  (Cambridge : University Press 1951).
Danu,  Atmaja. Terapi Anak Autis di Rumah ; Penyuting Hartin Rozaline. Jakarta :
            Puspa swara, 2005 .Cet ke-3 .
E. Mulyasa,  Kurikulum Berbasis Kompentensi, Bandung: Rosdakarya, 2002,
Fadjar, Malik dkk., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber
            Daya Manusia.  Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam RI,
            1999.
Freeman, Joan & Utami Munandar. Cerdas dan Cemerlang, Jakarta: Gramedia
            Pustaka, 2001.
Fauzil Adhim, M., Positive Parenting: Cara-Cara Islami Mengembangkan
            Karakteristik Positif Pada Anak Anda. Bandung: Mizania Pustaka 2006.
Don Campbell, Efek Mozart Bagi Anak-anak meningkatkan daya pikir,
 Kesehatan, dan Kreativitas Anak melalui Musik (Jakarta: Gramedia 2001)  Goleman,  Daniel,  Emotional Intelligence, New York: Batam Books, 1995.
Ginanjar Agustin, Ary. ESQ Emotional Quetient Rahasia sukses membangun
          Kecerdasan Emosi dan Spiritual,  jakarta:  Agra publishing 2007.
Hembing  Wijayakusuma,  M.  Psikoterapi Anak Autisma. Jakarta : Populer Obor
          2004.
Hayes, Eileen. Tantrum Panduan memahami dan Mengatasi Ledakan emosi pada
           Anak, Jakarta:  Erlangga, 2003.
Holmes, David , Linda A Med.  Autisme Throught the Life Span, The Eden Model.
           Wood Bine. US, 1977.
Hodgdon, Linda A, Med, Solving Behavior Problem in AutismeImproving
           Communication With Visual Strategis.  Quick Robert Publising: Michigan –
          USA, 1977.
Handayani, Rini dkk. Penanganan Anak Berkelainan. Jakarta: Universitas
           Terbuka, 2008.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Research. Jogjakarta: Andi, 2004.
Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Islami; Menyikap Rentang Kehidupan
          Manusia dari Prakelahiran hingga Pascakematian, Jakarta: Raja Grafindo
          Persada, 2006.
Handayani, E. Autism: Studi Kasus pada Suatu Pasang Anak Kembar yang
              Mengalami Autistic Disorder. Jakarta : Universitas Indonesia,  2003
Hill, Winfred F. Theories of Learning: A Survey of Psychological Interpretations,
          Harper Collins Publisher, 1990. Diterjemahkan oleh: M. Khozin. Teori-
           Teori  Pembelajaran konsepsi, komparasi dan Signifikansi, Bandung: Nusa
          Media, 2009.
Khadijah, Siti . Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah
          Ulujami Jakarta selatan, Jakarta: Perputakaan UIN 2008.
Mourice, Cs. Behaviroral Intervetion For Young Childre. Los Angeles: Pro Ed
          Inc  USA, 2006.
Munandar, S. C. U.. Mengembangkan Bakat dan Kreatifitas Anak Sekolah.
           Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1999.
Munandar, S. C. U.. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat.Jakarta: Rieneka
          Cipta, 2009.
Mohamed, Mohaini. Great Muslim Mathematticians diterjemahkan oleh: Thamir
          abdul hafedh al-Hamdhany. Matematikawan muslim Terkemuka. Jakarta: salemba Teknika, 2001.
Moleong, Lexy  J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
          RosdaKarya 2007.
Muis, Abdul. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus–Austik. Bandung:   
            Alfabeta , 2006.
Mukhopandhyay, Tito R . Pohon cerdas; Catatan Menakjubkan Seorang Anak
  Autis , editor Mathori A Elwa.  Bandung : Nuansa,  2007.
Monks, F. J& Knoers, A. M. P. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam
 berbagai bagianya. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2002.
Mehdi Nakosteen, Kontribusi  Islam atas dunia intelektual Barat: Deskripsi
Analisis abad Keemasaan Islam, Terj. History of Islamic Orgins of western Education A.D. 800-1350. With introduction to Medieval Muslim Education
            (Surabaya: Risalah Gusti 1995).
Neuman, W Laurence. Social Research Methods Qualitative and Quantitative
 Approaches, Boston: Allyn and Bacon 2000, h. 21.
Nashori, Fuad, Diana mucharom, Rahmy. Mengembangkan Krativitas dalam
            perspektif Psikologi Islam. Jogjakarta: Menara Kudus, 2002.
Naim, Ngainun. Menjadi Guru Inspiratif memberdayakan dan Mengubah Jalan
          Hidup Siswa. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009.
Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito 1996.
Rita Smilkstein. We’re Born to Learn; Using the Brains; Natural learning
Process to Create Todays; Curriculum. A Sage pubications Company Thosand oaks,  California, 2003.
Samples,  Bob . Panduan Belajar Sambil Bermain untuk Membuka pikiran Anak-
             anak  Anda,  Jakarta:  Kaifa 1999.
Shohih AL-bukhori, Darul Nahli an-Nail, juz 3. tt. ,h. 257.
Syah,  Muhibbin.  Psikologi Belajar, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004, h. 184.
Semiawan, Conny R, dkk. Dimensi kreatif dalam filsafat Ilmu, Bandung:
           Rosdakarya, 2004.
Safaria, Triantoro. Terapi Kognitif-Perilaku Untuk Anak, Yogyakarta: Graha Ilmu,
              2004.
Tony Attwood,  Aspeperger‘s Sindrom: A Guide for Parents and Professionals,
 Jessica Kingsley Publishers  London dan philadelpia,  penerjemah;  
             santi Indra Astuti Jakarta:  Serambi ilmu Semesta 2002.
Oliver Liamen, Islamic Aesthetics, terj. Irfan abubakar. Estetika Islam:
           Menafsirkan Seni dan Keindahan (Bandung: Mizana Pustaka 2005).
Quraish Shihab, M. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
           Qur’an(Jakarta: Lenterahati2002), Volume 9.
Pendidikansalatiga.net/index.php?...&task=view&id+146&itemid-28.
Kompas, Pendidikan Kita belum Dukung Pengembangan Kreativitas Anak,
           Jakarta: Senin 2 september 1996.



[1]  Autisme adalah keadaan yang terpaku mengenai lamunan dan mimpi siang hari, atau dalam bahasa arab; istighol bithamaniati wa ahlami an-nahar. At-Tabik Ali, Kamus Indonesia Arab, Jakrta: Multi Karya  Grafika, 2003, hal. 89. Autisma, sebuah sindrom gangguan perkembangan system syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak-kanak hingga masa-masa sesudahnya. M Hembing Wijayakusuma, Psikoterapi untuk anak Autisme, Teknik bermain Non Verbal dan Verbal.  Jakarta: Pustaka Obor, 2004, h. v.
                [2]   Lorna Wing adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah  Sindrom Asperger dalam sebuah makalah yang dipublikasikan pada 1981. Dalam tesis doktoral yang dipublikasikan pada 1944, Hans asperger seorang pediratri yang berasal dari wina menggambarkan empat anak laki-laki yang benar-benar tidak lazim dalam hal kemampuan berintraksi, linguistik, dan kognitifnya. Tony Attwood, Aspeperger ‘s Sindrom: A Guide for parents and Professionals, Jessica Kingsley Publishers  London dan philadelpia, 2002 penerjemah: santi Indra Astuti Jakarta: Serambi ilmu Semesta.
  [3]   Dr. Leo Kanner, seorang psikiater anak dari Universitas John Hopkins , Neale  D ,   Abnormal Psycology. New York : Jhon Wiley and Sons 1996.
                  [4]   David L. Holmes,  Autism throught the Lifespan, United States of America: Woodbine 2007, h. 13.
  [5]   Sumadi Suryabrata, Psikologi pendidikan. Jakarta:  Raja Grafindo Persada, Cetakan 2005.
  [6]  Chris Williams dan Barry Wright , How to live With  Autism and Asperger Syndrome ( Sterategi praktis bagi orang tua dan guru anak autis ) ( Jakarta : Dian Rakyat  2007 ),  h. 317.
[7]  Pendidikan Kita belum di dukung Pengembangan kreatifitas Anak, ( Jakarta: Kompas  Senin, 2 september, 1996), h.11.
[8]  E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis kompentensi, Bandung: Rosdakarya  2002, h. 5.
  [9]   Kreatifitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang relatif berbeda dengan yang apa yang telah ada sebelumnya. Supriadi, U. Kteatifitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek, Bandung: Alfabeta 2001, h. 45. Tidak ada satupun definisi yang dianggap dapat mewakili pemahaman yang beragam tentang kreativitas  yang diterima secara universial. Hal ini di sebabkan dua alasan. Pertama kteativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional yang mengundang berbagai tafsiran yang beragam. Kedua, defenisi-definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung pada dasar teori yang menjadi acuan pembuatan definisi kreatifitas tersebut. Hembing Wijayakusuma , M,  Psikoterapi Anak Autisme ,  Jakarta : Pustaka Obor  2004 . h. vii

[10]  Ciri-ciri kreativitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu kognitif (aptitude) dan ciri non-kognitif (Non aptitude). Ciri kognitif dari kreativitas terdiri dari orisinalitas, fleksibelitas, kelancaran dan elaboratif. Sedangkan ciri non-kognitif dari kreatifitas meliputi motivasi, kepribadian, dan sikap kreatif, Munandar, S.C. U.,  Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Sekolah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia 1999, h. 18.
[11]  Pentingnya pengembangan kreativitas ini memiliki empat alasan, yaitu: Ke-satu,  Dengan berekreasi, orang dapat mewujudkan dirinya, perwujudan ini termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia menurut Maslow kreativitas juga merupakan manifestasi dari seseorang yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya. Ke-dua, Kreativitas sebagai kemampuan untuk melihat kemampuan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menyelesaikan suatu pendidikan formal. Siswa lebih dituntut untuk berfikir logis, penalaran, ingatan atau pengetahuan yang menuntut jawaban paling tepat terhadap permasalahan yang diberikan. Kreativitas yang menuntut sikap kreatif dari individu perlu dipupuk untuk melatih anak berfikir luwes (flexsibelity), lancar (fluency), asli (organility), menguraikan (elaboration) dan dirumuskan kembali (redefition) yang merupakan ciri berfikir kreatif yang dikemukakan oleh guilford. Supriadi, U. Kteatifitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek, Bandung: Alfabeta 2001, h. 45. Ke-tiga bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu. Ke-empat kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Mohammad Anas, Adaptasi Penyandang Autisme Di Sekolah, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2003.
 [12]    Bob Samples, open mind/wholemind : parenting and teaching tommorrow’s Children Today, (torrance USA: Jalmar Press, 1999) diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Revolusi belajar Untuk Anak: Panduan Belajar Sambil bermain Untuk membuka Pikiran Anak-Anak Anda, Bandung:  Kaifa, 20020 cet. I, h. 74.
                [13]  Dalam dasa warsa terakhir, para fisiologi saraf telah menyelidiki pembagian otak. Joseph Boge, Michael Gazzaniaga, David Galin, dan Robert Ornstin telah memimpin penyelidikan. Dan Roger Sprery yang pada tahun 1981 berhasil mendapatkan hadiah Nobel atas karyanya. Para peneliti tersebut dan para ahli lainya mengemukakan bukti yang meyakinkan bahwa kedua otak benar-benar memiliki pembagian kerja. Mereka mengemukakan bahwa korteks kiri mempunyai spesialisasi dalam pemrosesan rasional, logis, linear, sekuensial, dan berurutan dalam waktu. Sedangkan belahan kanan pada kebanyakan orang memunyai spesialisasi dalam fungsi analogis, metaforis, holistis, visual –spasial, dan sintetis. Penelitian tersebut membuktikan bahwa kedua belahan berfungsi dengan cara saling melengkapi.
 [14] Sindrom (Syndrome) berarti gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri dari;  1) disleksia (dyslexia), y akni ketidakmampuan belajar membaca;  2) Disgrafia (dysgrafia), yakni ketidakmampuan belajar menulis; 3) Diskalkulia (dyscalculia), yaitu  ketidakemampuan belajar matematika. Namun siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas sebenarnya memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar anak sindrom-sindrom tadi hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2004, h. 184.
 [15] Tony Attwood. Sindrom Asperger, Jessica kingslay Publishers 116 Pantoville Road: London N19JB.
[16]  Pendidikansalatiga.net/index.php?...&task=view&id+146&itemid-28
[17]   Thomas Amstrong, multiple intelligences In The Classroom ( Virginia: Assosiation For Supervission and Curricullum devlopment, 2000) diterjemahkan oleh Yudhi Murtantho, Sekolah Para Juara: menerapkan Multiple Intelegences di dunia Pendidikan (Bandung: Kaifa, 2003), Cet. ke.3, h. 77-78.
                [18]   Fauzil Adhim, M. Positive Parenting: Cara-Cara Islami Mengembangkan Karakteristik Positif Pada Anak Anda. Bandung: Mizania Pustaka 2006, cet. II. h. 138.
 [19]   Ary, Ginanjar Agustin. ESQ Emotional Quetient Rahasia sukses membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (jakarta: Agra publishing 2007), cet. ke. 40. h. 35.
 [20]  Linda A. Hodgdon. Solving Behavior Problems In autism Improving Communication with Visual Strategies,  Michigan :  QuirkRobert Publishing 1999 , h. 70.
[21]   Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami: menyingkap Rentang Kehidupan Manusia dari Prakelahiran Hingga Pascakematian ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 98.
[22]    Beberapa Ilmuwan Muslim mengatakan Bahwa kehidupan manusia (setelah Lahir) dapat dibagi atas empat tahapan besar. Tahap Pertama, merupakan tahap terjadinya pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan, yang dimulai dari 0 sampai 33 tahun (akhir masa muda dan usia di mana individu memiliki kematangan penuh dari fisik dan intelektual).Tahap kedua, dari 33-40, adalah tahap menetap (ke-konstan-an) di mana pertambahan dalam pertumbuhan dan perkembangan sulit diamati. Usia 40 tahun dianggap sebagai tahap dimana kemampuan fisik dan intelektual mencapai kematangan. Tahap ketiga adalah tahap usia baya atau pertengahan (alkuhulah). Dari 40-60 tahun manusia mulai menurun dari segi fisik dan mental secara sangat perlahan-lahan dan lambat sehingga sehingga sulit untuk diperhatikan. Tahap keempat, dari 60 sampai akhir kehidupan, adalah tahap usia lanjut dan penurunan (ketuaan). Dalam tahap ini penurunan lebih jelas dan lebih dapat diperhatikan. Lebih Jelas lihat Abubakar Mahmoud Gummi, radd al adhham ila-ma’an aql qur’an (a Commentary of the holy Qur’an), Beirut: Dar al-Arabiyah, 1982.
 [23]    Tafsir Al-qur’an dan Terjemah, Surat al-imran ayat 190-192. Bandung: Diponegoro 2004.
 [24]   Siti, Khoditjah, Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami jakarta Selatan, Tesis UIN Pascasarjana Syarif hidayatullah 2008, h. 114.
[25]    Abdul Hadi W. M., Islam Cakrawala, Estetika, dan Kebudayaan, h. 352. Sebagaimana dikutip Euis Sri Mulyani, Panduan Pengajaran seni dalam Islam (jakarta: Penamadani 2003), h. 63-64.
[26]   Kaligrafi adalah seni menulis indah yang berasal dari bahasa yunani (kalios yang berarti indah dan grapia yang berarti tulisa) seni ini diciptakan dan dikembangkan oleh kaum muslim sejak kedatangan islam. Sebagai bahasa yang memiliki karakter huruf yang lentur dan artistik, Huruf Arab menjadi bahan yang sangat kaya untuk penulisan kaligrafi. Sifat unik tereksplorasi dengan  baik di tangan kaum muslim, karena pada sejarah pra islam, orang Arab tidak memiliki seni tulis seperti yang dikembangkan oleh orang Arab muslim. Kaligrafi sangat berkaitan dengan al-qur’an dan Hadits. Untuk Lebih jelasnya baca Ade Armando dkk, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 2001, h. 75. Tesis Siti Khotijah, Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta selatan, 2008, h.114.
[27]  Euis sri mulyani, panduan Pengajaran seni dalam Islam, Jakarta: Penamadani 2003, h. 64.
[28]  Siti Khotijah, Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta selatan, Tesis UIN Pascasarjana Syarif Hidayatullah,  2008, h. 115.
[29]  Euis Sri Mulyani,  Panduan Pengajaran Seni dalam Islam, Jakarta: Penamadani 2003, h. 52.

[30]   Cyril Elgood,  A Medical History of Persia  (Cambridge : University Press 1951), h. 234-235.
[31]   Oliver Liamen, islamic Aesthetics, terj. Irfan abubakar: estetika Islam: Menafsirkan Seni dan keindahan (Bandung: Mizana Pustaka 2005), h. 174.
[32]   Don Campbell, Efek Mozart Bagi Anak-anak (Jakarta: Gramedia 2001), h. 23.
[33]    Oliver Liamen, islamic Aesthetics, terj. Irfan abubakar: estetika Islam: Menafsirkan Seni dan keindahan (Bandung: Mizana Pustaka 2005), h. 63.
[34]   Mehdi Nakosteen, Kontribusi  Islam atas dunia intelektual Barat: Deskripsi Analisis abad Keemasaan Islam, Terj. History of Islamic Orgins of western Education A.D. 800-1350. With introduction to Medieval Muslim Education (Surabaya: Risalah Gusti 1995), h.261.
[35]    Oliver Liamen, Islamic Aesthetics, terj. Irfan abubakar: estetika Islam: Menafsirkan Seni dan keindahan (Bandung: Mizana Pustaka 2005), h.191.

[36]   M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an  (Jakarta: Lentera hati 2002), Volume 9, h. 150.

[38]   Robert  I. Watson & Henry Clay Linderen. Psychologi of Child, Third Edition, Tokyo Japan , John Willey Inc.,New York London Syedney Toronto Toppan Company, Ltd, 1973. h.187.

[39]   Shohih AL-bukhori, Darul Nahli an-Nail, juz 3. tt. ,h. 257.
[40]   Abdurahman Al-jauzi,  Al-Thibb al-Ruhani, Cet. al-Taraggi, 1348, h. 44.
[41]    Malik Fadjar dkk., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam DEPAG RI, 1999. h. 18.
                [42]    Malik Fadjar dkk., Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam DEPAG RI, 1999. h. 18.

[43]  Tantrum adalah sebagai  “ledakan amarah” dalam buku Temper tantrums in young children, psikolog  Michael  potegal, mendefinisikan dua jenis tantrum yang berbeda dengan landasan emosional  dan   tingkah laku  yang  berbeda sebagai berikut ; Tantrum (Anger Tantrum) dengan ciri menghentakan kaki, menendang memukul, dan berteriak. Tantrum kesedihan  (Distress Tantrum) dengan ciri menangis dan terisak-isak membantingkan diri, dan berlari menjauh . Eileen hayes , Tantrum panduan dan mengatasi ledakan emosi anak, Jakarta: Erlangga  2003 , h. 12 .
[44]   Chris Williams and   Barry Wright , How to live with Syndrome , Jakarat: Dian Rakyat 2004 , h. 32.
                 [45]  Rita Smilkstein , We’re born to learn ; using the brains; natural learning process to create todays; curriculum,  A Sage pubications Company Thosand oaks, California, 2003,  h. 178

                [46]  Bob samples, Panduan belajar sambil bermain untuk membuka pikiran anak-anak anda,  Jakarta : Kaifa  1999 , h . 67.

               [47] David L. holmes, Autism throught the lifespan, USA:  Woodbine house 1997.
[48]   Lihat Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory Of Multiple Intelgence ( New York: Basic, 1983); Howard Gardner, Intellegence Reframed: multiple Intelegences For the 21st Century, (New York: Basic 2000); Howard Gardner, Multiple Intlligences; the Theory In Practice, (New York: Basic  1993); Thomas Amstrong, Multiple inteligence In The Classrom (Virginia: Assosiation For Supervision and Curriculum Devlopment, 2000); Linda Campbel, Bruce Campel, dan dickinson Dee, Multiple inteligences: metode Terbaru Melesatkan Kecerdasan (Depok: Intuisi Press 2006) Cet. ke-2
[49]  Chris Williams dan Barry Wright , Strategi praktis bagi orang tua dan guru anak autis,   Jakarta : Dian Rakyat, 2004 , h. 1
[50]  Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory Multiple intelegences (New York: Basic 1983); Howard Gardner, Inteligence Reframed: Multiple Intelegences for 21st Century, (New York: Basic 2000); Howard Gardner, Multiple intellegences: The Theory in practice, New ( York: basic 1993).
 [51]  Penelitian kualitatif adalah sebuah penelitian yang berusaha menggungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik. Sayuthi Ali, Metodologi penelitian Agama. Pendekatan Teori  & Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 58. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah,  Leixy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya 2007). Penelitian kualitatif merupakan sebuah model penelitian yang prosedur dan penelitianya yang prosedur dan metodologinya sangat spesifik, didasari teori korespondensi sebagai teori kebenaran ilmiahnya, serta sangat menghargai keragaman dan tanpa tendensi untuk melakukan generalisasi, Robert C. Bogdan and Knop Biklen, Qualitative Research For Education, an Introduction to theories and Methods  (Boston : Allen Publishing ), h. 314.
[52]  Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Teori & Praktek  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) , h. 59.
[53] Grounded Research adalah metode penelitian sosial yang bertujuan untuk menemukan teori melalui data yang di peroleh secara sistematik dengan menggunakan metode analitis komperatif dan konstan . Atho Mudzhar, M, Pendekatan studi islam dalam teori dan praktek, (Jogjakarta : Pustaka pelajar ,2004), h. 47.
[54]  Neuman, W Laurence. Social Research Methods Qualitative and Quantitative Approaches, Boston: Allyn and Bacon 2000, h. 21.
[55] Analisa data terdiri dari beberapa tahap yaitu; Pertama, reduksi data, data yang diperoleh di lapangan dicatat secara lengkap dan rinci. Dari data tersebut perlu direduksi, dirangkum dan dipilah-pilah hal-hal yang pokok dan difokuskan sesuai dengan tujuan penelitian. Kedua, Display data, untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian maka perlu adanya display data, yaitu menyajikan data dalam bentuk martik, grafik, network dan chart. Ketiga, kesimpulan dan verivikasi, yaitu upaya untuk mencari pola, model, tema hubungan dan persamaan serta hal-hal yang sering muncul, sehingga didapat satu kesimpulan. Nasution, S. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito 1996, h. 129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar