Anak sholeh di mata orang tua
Dan orang-orang yang berdoa:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak keturunan kami
yang menjadi penyejuk mata kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang
yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqan: 74)
Imam Ibnu Katsir memahami
qurratu a’yun dalam ayat ini sebagai anak keturunan yang taat dan patuh
mengabdi kepada Allah. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa keluarga yang dikategorikan
qurratu a’yun adalah mereka yang menyenangkan pandangan mata di dunia dan di
akhirat karena mereka menjalankan ketaatan kepada Allah, dan memang kata Hasan
Al-Bashri tidak ada yang lebih menyejukkan mata selain dari keberadaan anak
keturunan yang taat kepada Allah swt.
Secara bahasa, anak dalam bahasa Arab
lebih tepat disebut dengan istilah At-Thifl Pengarang Al-Mu’jam al-Wasith
mengartikan kata At-Thifl sebagai anak kecil hingga usia baligh.
Kamus besar bahasa Indonesia
mengartikan anak sebagai keturunan kedua. Disamping itu anak juga berarti
manusia yang masih kecil. Anak juga pada hakekatnya adalah seorang yang berada
pada suatu masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi
dewasa seiring dengan pertambahan usia. Dalam kontek ini, maka anak memerlukan
bantuan, bimbingan dan pengarahan dari orang dewasa (orang tua dan para
pendidik).
Berdasarkan pembacaan terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebut kata Ath-Thifl yang berarti anak yang masih
kecil sebelum usia baligh, maka terdapat empat ayat yang menyebut kata ini
secara tekstual. Dua ayat berbicara tentang proses kejadian manusia yang
berawal dari air mani, yaitu surah Al-Hajj: 5 dan surah Ghafir: 67. Sedangkan
kedua ayat lainnya yang menyebut kata At-Thifl terdapat dalam surah An-Nur : 31
dan 59 yang menjelaskan tentang adab seorang anak di dalam rumah terhadap kedua
orang tuanya.
Yang paling mendasar dalam
pembahasan seputar anak tentu tentang kedudukan anak dalam perspektif Al-Qur’an
agar dapat dijadikan acuan oleh orang tua dan para pendidik untuk menghantarkan
mereka menuju kebaikan dan memelihara serta meningkatkan potensi mereka.
Al-Qur’an menggariskan bahwa anak merupakan karunia sekaligus amanah Allah swt,
sumber kebahagiaan keluarga dan penerus garis keturunan orang tuanya.
Keberadaan anak dapat menjadi: 1) Penguat iman bagi orang tuanya [QS: 37: 102]
seperti yang tergambar dalam kisah Ibrahim ketika merasa kesulitan melakukan
titah Allah untuk menyembelih Ismail, justru Ismail membantu agar ayahnya
mematuhi perintah Allah swt untuk menyembelihnya, 2) Anak bisa menjadi do’a
untuk kedua orang tuanya. [QS: 17: 24], 3) Anak juga dapat menjadi penyejuk
hati (Qurratu A’ayun), [QS: 25: 74], 4) menjadi pendorong untuk perbuatan yang
baik [QS: 19: 44]. Akan tetapi, pada masa yang sama, anak juga dapat menjadi 5)
fitnah, [QS: 8; 28] 6), bahkan anak dapat menjelma menjadi musuh bagi orang
tuanya. [QS: 65: 14]
Maka dari itu, para ulama sepakat
akan pentingnya masa kanak-kanak dalam periode kehidupan manusia. Beberapa
tahun pertama pada masa kanak-kanak merupakan kesempatan yang paling tepat
untuk membentuk kepribadian dan mengarahkan berbagai kecenderungan ke arah yang
positif. Karena pada periode tersebut kepribadian anak mulai terbentuk dan
kecenderungan-kecenderunganya semakin tampak. Menurut Syekh Fuhaim Musthafa
dalam karyanya Manhaj al-Thifl al-Muslim: Dalilul Mu’allimin wal Aba’
Ilat-Tarbiyati Abna masa kanak-kanak ini juga merupakan kesempatan yang sangat
tepat untuk membentuk pengendalian agama, sehingga sang anak dapat mengetahui,
mana yang diharamkan oleh agama dan mana yang diperbolehkan.
Dalam hal ini, keluarga merupakan
tempat pertama dan alami untuk memelihara dan menjaga hak-hak anak. Anak-anak
yang sedang tumbuh dan berkembang secara fisik, akal dan jiwanya, perlu
mendapatkan bimbingan yang memadai. Di bawah bimbingan dan motifasi keluarga
yang continue akan melahirkan anak-anak yang dikategorikan ‘qurratu a’yun’.
Untuk mewujudkan semua itu, maka
sejak awal Islam telah menyoroti berbagai hal di antaranya penegasan bahwa awal
pendidikan seorang anak dimulai sejak sebelum kelahirannya, yaitu sejak kedua
orang tuanya memilih pasangan hidupnya. Karena pada dasarnya anak akan tumbuh
dan berkembang banyak tergantung dan terwarnai oleh karakter yang dimiliki dan
ditularkan oleh kedua orang tuanya. Di antara tujuan disyariatkan pernikahan
adalah terselamatkannya keturunan dan terciptanya sebuah keluarga yang hidup
secara harmonis yang dapat menumbuhkan nilai-nailai luhur dan bermartabat.
Dalam konteks ini, Al-Ghazali yang
kemudian dikuatkan prinsip-prinsipnya oleh Ibn Qayyim al-Jauzyyah menegaskan
bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangatlah penting, oleh kerena itu
pelaksanaannya harus dilakukan dengan baik, dengan pembiasaan dan contoh-contoh
teladan, memberikan permainan yang wajar dan mendidik, jangan sampai memberikan
permainan yang mematikan hati, merusak kecerdasan, menghindarkannya dari
pergaulan yang buruk. Pengaruh yang positif diharapkan akan menjadi kerangkan
dasar bagi anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta bagi
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Membangun kerangka dasar pada anak
usia dini dapat diibaratkan membangun sebuah bangunan bertingkat. Bangunan
seperti itu tentu saja akan dimulai dengan membuat kerangka pondasi yang sangat
kokoh yang mampu menopang bagian bangunan yang ada di atasnya. Demikian pula
anak-anak yang memiliki pondasi yang kuat dan kokoh ketika usia dini maka akan
menjadi dasar dan penopang bagi perkembangan anak memasuki pendidikan selanjutnya,
termasuk mempersiapkan hidupnya di tengah masyarakat.
Menurut pandangan Syekh Mansur Ali
Rajab dalam karyanya Ta’ammulat fi falsafah al-Akhlaq terdapat paling tidak
lima aspek yang dapat diturunkan dari seseorang kepada anaknya, yaitu: 1). Jasmaniyah,
seperti warna kulit, bentuk tubuh, sifat rambut dan sebagainya. 2).
Intelektualnya, seperti, kecerdasan dan atau kebodohan. 3) tingkah laku,
seperti tingkah laku terpuji, tercela, lemah lembuat, keras kepala, taat,
durhaka. 4) alamiyah, yaitu pewarisan internal yang dibawa sejak kelahiran
tanpa pengaruh dari faktor eksternal. 5) sosiologis, yaitu pewarisan yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Ibn Qayyim Al-Jauzyyah dalam salah
satu karyanya yang monumental tentang pendidikan anak ’Tuhfatul Maudud bi
Ahkamil Maulud’ menegaskan bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah,
suci dan selamat dari penyimpangan dan menolak hal-hal buruk yang membahayakan
dirinya. Namun lingkungan yang rusak dan pergaulan yang tidak baik akan menodai
kefitrahan anak dan dapat mengakibatkan berbagai penyimpangan dan pada
gilirannya akan menghambat perkembangan akal fikirannya. Sehingga tujuan akhir
dari dari pendidikan anak prasekolah adalah memberikan landasan iman dan mental
yang kokoh dan kuat pada anak, sehingga akan hidup bahagia bukan saja di saat
ia dewasa dalam kehidupannya di dunia, tetapi juga bahagia di akherat, bahkan
diharapkan dapat mengikut sertakan kebahagiaan itu untuk kedua orang tua, guru
dan mereka yang mendidiknya.
Sehingga pendidikan anak usia dini
pada hakekatnya juga merupakan intervensi dini dengan memberikan rangsangan
edukasi sehingga dapat menumbuhkan potensi-potensi tersembunyi (hidden potency)
serta mengembangkan potensi tampak (actual potency) yang terdapat pada diri
anak. Upaya mengenal dan memahami barbagai ragam potensi anak usia dini
merupakan persyaratan mutlak untuk dapat memberikan rangsangan edukasi yang
tepat sesuai dengan kebutuhan perkembangan potensi tertentu dalam diri anak.
Upaya ini dapat dilalukan dengan memahami berbagai dimensi perkembangan anak
seperti bahasa, intelektual, emosi, social, motorik konsep diri, minat dan
bakat.
Tujuan lain dari pemberian program
simulasi edukasi adalah melakukan deteksi dini terhadap kemungkinan terjadinya gangguan
dalam pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi yang dimiliki anak. Gangguan
ini dapat muncul dari dua faktor, yakni faktor internal yang terdapat dalam
diri anak dan dan faktor ekternal yang berwujud lingkungan di sekitar anak,
baik yang berwujud lingkungan fisik seperti tempat tinggal, makanan dan
alat-alat permainan ataupun lingkungan sosial seperti jumlah anak, peran ayah/
ibu, peran nenek/ kakek, peran pembantu, serta nilai dan norma sosial yang
berlaku.
Ayat di atas yang menjadi doa
sehari-hari setiap orang tua yang mendambakan hadirnya keturunan yang qurratu
a’yun, hendaknya dijadikan acuan dalam pembinaan anak, sehingga tidak lengah
sesaatpun dalam upaya melakukan pengawasan, pendidikan dan pembinaan anak-anak
mereka. Itulah diantara ciri Ibadurrahman yang disebutkan pada ayat-ayat
sebelumnya yang memilki kepedulian besar terhadap nasib anak-anak mereka di
masa yang akan datang. Semoga akan senantiasa lahir dari rahim bangsa ini
generasi yang qurratu a’yun, bukan hanya untuk kedua orang tuanya, tetapi juga
masyarakatnya dan bangsanya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar