BAB II
DUNIA AUTISME
Anak autis adalah anak yang mempunyai beberapa talenta, bila pendidik dapat mengarahkan ke pendidikan yang lebih baik akan memperoleh hasil yang diinginkan. Melihat anak autis dilihat dari berbagai segi dan dimensi yang utuh sebagai anak titipan Tuhan. Oleh karena itu, guru harus memahami berbagai klasifikasi anak autis agar lebih memudahkan dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan anak, sehingga pendidikan sesuai dengan yang diharapkan.
A. Klasifikasi Anak Autis
Autisme atau biasa disebut ASD (autistic spectrum disorder) adalah gangguan perkembangan fungsi otak yang komplex dan sangat bervariasi (spektrum). Gangguan perkembangan ini meliputi cara berkomunikasi, berinteraksi sosial dan kemampuan berimajinasi.[1] Gangguan perilaku yaitu adanya perilaku stereotipe/khas seperti mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada benda yang berputar atau memutar-mutarkan benda, mengketuk-ketukkan benda ke benda lain, obsesi pada bagian benda atau benda yang tidak wajar dan berbagai bentuk masalah perilaku lain yang tidak wajar bagi anak seusianya. [2] Secara intelektual ia cerdas seperti anak normal, tetapi kacau dalam konsep, bingung bila didekatkan pada detail-detail kecil karena kehilangan makna prioritas. Antonio Damasio, ahli neorologi yang dikunjungi Elliot, terkejut karena ada salah satu unsur yang hilang dari repertoar mental Elliot, [3] meskipun tidak ada salah pada logika, ingatan, perhatian, atau kognitif lainya, Elliot praktis tidak mengetahui apa perasaannya atas hal-hal yang terjadi pada dirinya.[4] Yang paling mencolok, Elliot dapat menceritakan peristiwa-peristiwa tragis dengan nada amat datar, seolah-olah ia hanya pengamat kehilangan dan kegagalan masa lampaunya. Tanpa nada sesal atau sedih, kecewa atau marah terhadap ketidakadilan atas hidupnya.[5] Menurut kesimpulan bahwa sumber ketidaksadaran emosional ini adalah dibuangnya lobus preferontal [6] bersamaan pembedahan tumor otaknya. Pembedahan itu sekaligus memutuskan ikatan antara pusat-pusat emosional yang lebih rendah terutama amigdala dan sirkuit-sirkuit yang berkaitan dan kemampuan neokorteks. Sehingga pola pikir berubah menjadi seperti komputer, tetapi tidak sanggup menetapkan nilai berbagai kemungkinan. Setiap pilihan bersifat netral. Dan, penalaran yang sangat bersih dari nafsu itu, menurut dugaan Damasio, merupakan inti kesulitan Elliot, yaitu terlalu rendahnya kesadaran terhadap perasaanya sendiri akan segala hal telah membuat penalaran Elliot tidak berjalan baik.[7] Beberapa individu yang termasuk dalam spektrum autisme memiliki berbagai ciri khas dalam mempersepsi dunia, seperti: [8] 1. Visual thinking; dimana mereka lebih mudah memahami hal konkrit (dapat dilihat dan dipegang) daripada hal abstrak. Biasanya, ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk ‘video’ atau file gambar. Proses berpikir yang menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat daripada proses berpikir verbal akibatnya, mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi daripada berpikir secara logis menggunakan logika. 2. Processing problems; sebagian anak ASD mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami ‘common sense’ atau menggunakan akal sehat/nalar. 3. Sensory sensitivities; Perkembangan yang kurang optimal pada sistim neurobiologis individu ASD. Sound sensitivity: dimana anak jadi takut berlebihan pada suara keras/ bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan dalam. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makan dan pakaian). 4. Rhytm difficulties: Individu sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk dalam percakapan. 5. Communications frustrations; gangguan perkembangan bicara bahasa yang terjadi pada individu ASD membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka sulit memahami tuntutan lingkungan yang meminta mereka menjawab meski mereka tidak ditanya secara langsung. 6. Social & emotional issues; ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu ASD cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu ASD sulit adaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. 7. Problems of control; berbagai gangguan perkembangan neurologi di otak menjadikan masalah individu ASD menjadi makin kompleks. 8. Problems of tolerance; kepekaan yang berlebihan akan rangsang. Kesemuanya itu menunjukan betapa bervariasinya gangguan yang di deritanya sehingga membutuhkan penangganan yang khusus. Identifikasi anak autis, American academy of neorology and the child neourolgy society menyatakan bahwa suatu sistem skrinning perkembangan rutin harus dilakukan untuk memastikan gangguan otak yang diderita anak autis sehingga dapat memastikan termasuk katagori apa yang sedang diderita sehingga dapat memastikan penangganan lebih dini. Diduga penyebab anak autis menurut Melly Budhiman sangat kompleks yaitu mulai dari gangguan pada fungsi susunan syaraf pusat, faktor genetic, penyebab organic dan buruknya pencernaan. Penyebab yang telah diketahui sekarang bahwa gejala autism timbul karena gangguan fungsi susunan syaraf pusat. Gangguan fungsi ini bisa diakibatkan oleh kelainan struktur otak yang terjadi pada saat janin berusia tiga bulan. Pada dasarnya penyebab autis adalah terganggunya fungsi susunan syaraf pusat yang posisinya berada pada otak manusia. Klasifikasi menurut tipe interaksi sosial, yaitu anak autistik dikelompokan berdasarkan kemampuan interaksi sosial. Catherine Maurice[9] mengklasifikasikan anak autism menjadi tiga kelompok; pertama, group aloof ini merupakan ciri klasik, sesuai dengan deskripsi infantil klasik oleh Leo Kanner yaitu pada tahun 1943. Anak autis kelompok ini sangat menutup diri dengan orang lain, anak autis tersebut merasa tidak nyaman dan akan mengamuk dan marah. Keengganan berintraksi dengan teman sebaya tampak lebih nyata dibandingkan interaksi terhadap orang tuanya.[10] Pada anak autistik, komunikasi verbal dan non verbal sangat terganggu, anak autistik kelihatan seperti anak bisu, tuli tetapi bila mendengar sesuatu yang disukainya, maka anak autis tersebut akan bereaksi secara cepat. Sebagian anak ini tetap tidak bicara dan mengalami gangguan yang bersifat menetap, misalnya ekolia (mengulang kata-kata) dan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami orang lain.[11] Yang lebih khas pada diri anak autis ialah anak yang tidak dapat menggunakan kata-kata dalam konteks yang benar sebagai sarana untuk melakukan interaksi sosial dan mengenal orang lain untuk bertukar gagasan dan kesenangan dengan orang lain. Anak autis juga cenderung tidak bermain mengikuti orang tuanya yang sedang bermain, dan Ia tidak perduli terhadap reaksi orang tuanya yang meninggalkan dirinya dan reaksi orang tua ketika menghampirinya. Anak autistik juga kehilangan kontak mata, mimik, dan aktifitas lain seperti melambai, menganguk, menyentuh orang lain untuk menarik perhatian orang tersebut, sehingga menyulitkan diagnosis yang akurat. Anak autis klasifikasi group aloof sangat sulit meniru suatu gerakan yang bermakna. Mereka bisa bertepuk bila tangganya dipegang, tapi tak bisa menirunya secara spontan. Mereka juga tidak bisa main secara simbolik, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain. Mereka dapat memanipulasi benda, tetapi mereka tidak tahu kenyataan benda tersebut dan imajinasi anak sangat terbatas.[12] Gerakan sterotipik sangat sederhana seperti menggerakan jari di depan mata, memutar-mutar tubuh atau suatu benda. Anak ini tidak memperdulikan suara yang dapat menggangu atau mempesona dan kurang reponsif terhadap rangsang sensoris, terutama pada usia muda. Perilaku buruk lainya anak autis group aloof berperilaku agresif [13] (menyerang dan memaksa) destruktif, tidak bisa diam, menjerit, lari dan sejenisnya. Kelompok kedua, klasifikasi anak autis menurut tipe interaksi sosial ialah group pasif.[14] Kemampuan anak di kelompok ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak autis di group aloof. Kemampuan visual/spatsial lebih baik dibanding verbal, tetapi kadang-kadang ada ganguan kordinasi. Bila intelgensinya rendah, kelompok jenis ini dapat mengikuti pendidikan untuk anak retradasi mental. Kelompok ketiga klasifikasi anak autis group aktif tetapi aneh. Pada kelompok ini anak autis dapat mendekati orang lain, mencoba berkata dan bertanya tetapi bukan untuk kesenangan atau tujuan interaksi sosial secara timbal balik. Kemampuan bicara sering kali lebih baik dari pada kelompok yang kedua. Bicara anak ini aneh, karena mereka mengucapkan kata-kata atau kalimat yang sudah di dengar sebelumya, tanpa memandang situasi dan tanpa pengertian. Inotasinya monoton, kontrol napas dan kekerasan suaranya abnormal (berkelainan). Cara bermainnya berulang, sterotepik, tetapi seolah-olah ada imajinasi. Anak ini sering main komputer dan menonton televisi. Anak ini cenderung mempunyai ganguan motorik, gangguan keseimbangan, cara melangkah dan posisi aneh. Beberapa kasus group pasif adolesen terdapat 205 diantara anak-anak ini dapat berubah dari aloof menjadi pasif atau menjadi aktif tapi aneh. Perilaku buruk, juga cenderung berkurang pada masa adolesen. Sebagian dapat menjadi dewasa independent atau semi independent, walaupun gejala masih sedikit kelihatan.[15] Menurut Semiawan Munandar bahwa kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang sebanding dengan potensi adalah hak setiap anak manusia. Setiap anak seharusnya memperoleh pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan, kondisi, kemampuan, dan minat serta kecepatanya, untuk dapat berkembang seoptimal mungkin. Mereka membutuhkan bantuan untuk memaksimalkan potensi prestasi sekolahnya. Ivar Lovaas mengajak agar di dalam masyarakat hendaknya anak autis disiapkan untuk pekerjaan yang membutuhkan tingkat konseptualisasi tinggi, untuk menjawab berbagai tantangan yang ada di masyarakat. Anak autis merupakan asset masyarakat yang memerlukan pendidikan yang berbeda dari yang lain. Linda Hodgdon menyebutkan bahwa anak autis perlu diberi pendidikan khusus,[16] dengan alasan kebutuhan aktualisasi diri. Menurut Linda A. Hodgdon apa yang kita bantu untuk anak autis adalah mengupayakan bakat mereka berkembang sebaik mungkin dalam segala bidang yang mereka punyai.[17] Masih menurut Hodgdon perilaku pada umumnya diteliti karena alasan”bermasalah” yaitu; anak tidak berperilaku sesuai dengan lingkungan atau situasi saat itu, perilaku anak tidak seperti yang biasa dilakukan pada teman sebaya mereka, dan mereka tidak melakukan seperti yang mereka inginkan, apa-kapan dan bagaimana.[18] Hal ini dapat terjadi jika anak autis mendapatkan pendidikan yang baik dan motivasi untuk berkreasi dibangkitkan, sehingga aktualisasi diri merekapun akan tercapai. Untuk itu anak autis harus mendapatkan terapi observasi dan tingkah laku sejak dini.[19] Lovaas melakukan penelitian pada anak penyandang autisme dengan pengajaran khusus sejak tahun 1964. Semula penelitian dilakukan dalam sebuah institusi, tetapi hasil yang diperoleh kurang memuaskan karena penanganan dilakukan dalam sebuah institusi dan orang tua tidak di libatkan.[20] Lovaas pada tahun 1987 bersama timnya di UCLA mengembangkan penelitian yang dipusatkan di lingkungan rumah. Penanganan secara intensif diberikan kepada kelompok eksperimental yang mendapat (treatment) (terapi ABA) dari terapis sekitar 2 tahun.[21] Treatment diberikan dalam bentuk 40 jam pengajaran setiap minggu dengan satu guru satu anak (one by one teaching). Anak-anak tersebut mendapat pengajaran satu guru per satu anak (one by one teaching) di rumah, sekolah, dan lingkungan. Kelompok pembanding adalah kelompok kontrol yang terdiri dari anak-anak penyandang autisme yang diberikan treatment oleh terapis sekitar 2 tahun selama kurang dari 10 jam pengajaran setiap minggu dengan satu guru per satu anak. Sedangkan kelompok kontrol kedua adalah 21 anak yang juga penyandang autisme namun diberikan penanganan yang berbeda.[22] Dua kelompok kontrol, hanya ada satu anak yang dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1, 18 (45%) ditempatkan di kelas khusus (keterlambatan bahasa atau anak kesulitan belajar) dan 21 anak (53%) di tempatkan di kelas autis atau keterbelakangan mental.[23] Berdasarkan evaluasi terdapat perbedaan yang mencolok antara kelompok kontrol lainya. Pada kelompok eksperimental terdapat 9 anak dari 19 anak (47%) dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 di Sekolah Umum, 8 anak lain (42%) dapat menyelesaikan pendidikan kelas 1 di sekolah khusus (keterlambatan bahasa atau kesulitan belajar) dan sisanya ditempatkan di kelas autis atau keterbelakangan mental. Dengan keberhasilan ini, maka Lovaas memperkenalkan metode ABA dan merekomendasikan metode ini untuk menangani anak dengan penyandang autisme, sehingga metode ABA terkenal dengan nama metode Lovaas. Menurut pendapat Linda A. Hodgdon ada beberapa langkah yang dapat membantu orang tua terhadap anak autis dengan cara observasi perilaku mengingat kebanyakan perilaku didasari kebutuhan tertentu sehingga dapat mendiskripsikan situasi yang terjadi dan dapat observasi dan pencatatan. Ivar Lovaas menggunakan metode applied behavioral analysis yaitu penanganan intervensi dini menggunakan one-by-one atau satu guru satu anak. Komponen ini one-by-one menjadi penting pada proses belajar awal pada anak-anak yang masih rendah tingkat kepatuhannya serta imitasinya.[24] Kecenderungan orang tua panik dan mengharapkan hasil yang terbaik sehingga membuat mereka menjadwalkan penanganan intensif terstruktur tanpa melihat pengaruhnya pada anak. Akibatnya anak menjadi tertekan dan bingung, apalagi bila penanganan di luar terstruktur tersebut tidak ada penanganan (terapi) yang Ia terima sangat kaku. Penulis sependapat dengan metodologi yang dikemukakan oleh Ivar Lovaas dan Linda A. Hodgdon tentang terapi observasi dan tingkah laku sejak dini kepada anak autis sehingga dapat memetakan multiple intelgence yang sedang berkembang pada anak tersebut dan dapat diketahui kemampuan pada verbal linguistik, jasmani kinestetik, dan verbal-spasial.
B. Terapi Observasi dan Tingkah Laku Anak Autis Konsep Teori ABA merupakan suatu metode untuk meningkatkan kemampuan yang secara sosial dapat bermanfaat dan mengurangi perilaku yang tidak diinginkan.[25] Metode ABA pada anak autis memfokuskan pengajaran pada respond sederhana atau kecil seperti kontak mata hingga perilaku kompleks seperti komunikasi spontan dan interaksi sosial dipecah menjadi langkah kecil-kecil.[26] ABA mendasarkan proses stimulus (instruksi) sebagai hal yang mendahului perilaku (attencedent), respond individu (perilaku) sebagai perilaku yang terjadi setelah atencendent diberikan (behavior) dan konsekuensi (akibat perilaku) sebagai akibat sesudah perilaku terjadi (consequences) yang menjadi sasaran proses pengajaran.[27] Dua teknik dasar metode ABA yang dapat diaplikasikan dalam proses pengajaran adalah discret trial teaching (DTT) dan discrimination training (DT).[28] Kaidah-kaidah ABA didasari oleh prinsip operant conditioning dari B.F Skinner (1904-1990) yang menyatakan bahwa setiap perilaku mengandung konsekuensi dan setiap proses pengajaran perilaku berdasarkan prinsip trial-error tetapi dapat dirancang.[29] Prinsip operant conditioning memperkenalkan rumusan: ANTENCEDENT -> BEHAVIOR -> CONSEQUENCES. [30] Berdasarkan prinsip operant conditioning, perilaku dapat dimodifikasi oleh konsekuensinya. Konsekuensi yang dapat meningkatkan perilaku disebut penguat (reinforcement) dan konsekuensi yang dapat menurunkan perilaku disebut sebagai punishment (sanksi) atau ganjaran.[31] Sebaliknya jika suatu perilaku ternyata memberikan akibat yang tidak menyenangkan atau tidak mendapatkan imbalan maka perilaku akan dihentikan. Istilah-istilah yang dipakai Instruksi,[32] promt reinforcement atau imbalan,[33] aktivitas terkecil dari perilaku, achived atau disingkat A, mastered, maintance atau pemeliharaan, R+ITEMS, ITEMS, mild distrupe behavior (MDB), tantrum atau mengamuk, echolia atau membeo. Penganut paham psikologi behavior yang lain yaitu Skinner, berpendapat hampir senada dengan hukum sebab akibat dari Thorndike. Ia mengemukakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan (reinforcement). Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus-respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Gagne yang disebut Orton[34] sebagai modern neo-behavioris membagi belajar dalam delapan jenis, yaitu dimulai dari belajar yang paling sederhana (belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar yang lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah).[35] Namun, didalam praktiknya, kedelapan tipe/jenis belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi stimulus-respond.[36] Hal tersebut dapat dijelaskan dari pendapat Gagne [37] bahwa setiap jenis belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan. Tahap pertama pemahaman, setelah seseorang yang belajar diberi stimulus, maka ia berusaha untuk memahami karakteristiknya (merespon) kemudian diberi kode (secara mental). Hasil ini selanjutnya digunakan untuk menguasai stimulus yang diberikan yaitu pada tahap kedua (tahap penguasaan). Pengetahuan yang diperoleh dari tahap dua selanjutnya disimpan atau diingat, yaitu pada tahap ketiga (tahap pengingatan). Terakhir adalah tahap keempat, yaitu pengungkapan kembali pengetahuan yang telah disimpan pada tahap ketiga. Berdasarkan pandangan psikologi behavior di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh karena adanya asosiasi (ikatan) yang manunggal antara stimulus dan respond. Hal ini sejalan dengan pendapat Hudojo bahwa pengetahuan seseorang itu diperoleh dari sekumpulan ikatan stimulus-respond, semakin sering asosiasi ini digunakan apalagi diberi penguatan, maka akan semakin kuat ikatan yang terjadi.[38] Jika dihubungkan dengan pendidikan autisme, hal ini berarti semakin sering suatu konsep (pengetahuan) diulangi maka konsep itu akan semakin dikuasai. Sebagai contoh, apabila seorang anak telah mengetahui bahwa doa sebelum tidur, kemudian anak tersebut sering ditanya tentang hal itu, maka ia akan semakin paham dan bahkan secara otomatis dapat menjawab dengan benar apabila ditanya, karena ikatan stimulus yaitu doa dengan responnya yaitu “tidur” akan semakin kuat. Satu alternatif pendidikan khusus yang di pelopori oleh Higashi School, yang bertempat di Jepang berkembang luas sampai kota Boston. Pada Higashi School membagi dua keistimewaan dengan menggunakan treatment tingkah laku dan telah berkembang dengan pesat (independently) dengan menggunakan prompt dan prompt bebas dengan prosedur untuk mengajar kemampuan baru, dan mereduksi kemampuan tingkah laku yang bermasalah dengan membiarkan mereka mempraktekan yang tepat, dengan alternatif tingkah laku.[39] Bagaimanapun, prosesdur tingkah laku sangat penting, seperti menggunakan descrite trials, tidak memberi tekanan, dan pelatihan berbahasa. Kurikulum ini memfokuskan pada kemampuan akademik, kemampuan fisik yang baik, dan pendidikan psikhis.[40] Evaluasi lain yang dilakukan secara intensif, di rumah sebagai tempat intervensi tingkah laku untuk autis yang di instruksikan oleh Mudroch University di Australia bagian Barat.[41] Sembilan anak children with autism (PDD) kira-kira 39 bulan diterima dan diterapi 18, 72 jam per minggu satu guru satu anak dan di bantu oleh orang tuanya dan para terapis (lembaga sekolah, anggota keluarga, dan teman) mengawasi setiap individu dan memberikan pelatihan lebih lanjut dengan menggunakan applied behavior analysis. Pada kelompok kontrol anak serupa tidak menerima treatment tingkah laku. Standar asesment adalah (IQ), pengembangan bahasa, dan adaptasi tingkah laku di mana yang di temui anak sebelum usia 2 tahun. Treatment periode ini sebagai latihan di mana program diberikan secara jelas. Observasi langsung, intervensi orang tua, dan intervensi orang yang digunakan untuk mengevaluasi sulitnya anak autis yang di intervensi tingkah laku dan yang sebelum di treatment. Thomas Armstrong dalam bukunya awakening your child’s natural genius anak autis dapat berkembang, hanya saja terbatas pada saat dia punya manfaat untuk orang banyak. Misalnya Eileen seorang autis yang mampu mengetik dua kali lebih cepat dari sekretaris Professor, tetapi dia tidak bisa berinteraksi secara normal. Salah satu bekas penyandang autis yang telah mendapatkan penanganan sejak dini adalah Temple Grandin, dimana dengan tekun dan kegigihanya telah mencapai potensi maksimalnya yaitu telah sanggup menyelesaikan pendidikan strata tiga, dengan memperoleh gelar Philoshopy of Doctor (Ph.D).[42] Pelayanan hidup ketergantungan akan memberikan dampak menggairahkan bagi kehidupan keluarga yang mempunyai respond terhadap hari-demi-hari yang dibutuhkan anak autis mereka.[43] Membuat program dan memberikan waktu dan memberikan pelayanan kepada anak autis, seseorang akan merasakan bahwa dia bekerja dan membutuhkan kita. Mereka tidak pernah cukup membiayai, tidak pernah cukup sekedar memberi program, tempat, tetapi setidaknya seseorang harus berusaha memberikan contoh jalan keluar berbagai macam program yang membuat pengembangan anaknya. Pelayanan hidup ketergantungan, orang tua tidak dapat memikul beban berat secara kontinu mencari penempatan yang tepat untuk anak mereka, dan mereka tidak khawatir tentang anak mereka di masa depan ketika mereka tidak dapat berada di sekeliling mereka atau memelihara mereka.[44] Para Agen Negara mempunyai komunitas yang kuat untuk melayani anak autis dan memberi kebebasan kepada organisasi untuk berkomitmen dengan positif.[45] Mereka menyediakan lebih banyak pelayaan terhadap anak yang hidup tidak berdaya. Menurut David L Holmes[46] ketidak berdayaan (learned helplessness) bagi penyandang autis cenderung belajar tidak berdaya sambil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sebaliknya keadaan tidak berdaya merampas seorang autis dari hak-hak untuk hidup mandiri, menentukan sendiri apa yang ingin Ia lakukan dan bagaimana Ia melakukanya.[47] Dalam arti anak yang selalu di intervensi akan membuat anak autis hidup dalam ketergantungan terhadap orang lain. Jika Ia selalu dibantu akan membuat anak selalu mengharapkan bantuan terhadap guru, terapis ataupun tidak bisa berintraksi dengan lingkungan. Keadaan tersebut seolah mengizinkan mereka untuk berperilaku tidak sewajarnya, karena mereka tidak diajarkan untuk bertanggung jawab atas perilakunya sendiri. Perlu adanya usaha agar anak autis bisa belajar kemandirian agar tidak selalu bergantung dengan yang lain. Peneliti dalam penulisan tesis ini, membantah teori David L. Holmes karena anak akan cenderung menjadi ketergantungan dan tidak mampu untuk berupaya serta bertanggung jawab. Padahal dalam kehidupan justru kemampuan untuk melihat berbagai alternatif penyelesaian atas suatu persoalan itulah yang diperlukan. Kesempatan bereksperesi, mengembangkan kreatifitas pasti akan terhambat, yang dikembangkan oleh sekolah justru kekakuan.[48] Tidak ada pendapat pelayanan terhadap hidup ketergantungan memberikan dampak positif. Seseorang yang konsen terhadap kehidupan ketergantungan kelihatanya tidak bisa menyembunyikan emosi tentang kesulitan anak autis dalam berkembang. Keluarga yang memiliki anak autis secara alami berharap mereka berangsur hilang dengan berjalanya waktu, atau dengan mengobati. Untuk dapat menghadapi berbagai tantangan masa depan agar anak mereka menjadi yang terbaik untuk kehidupan mereka dan diterima dalam masyarakat seperti masa periode ketika keluarga baru pertama memahami bahwa anak mereka terkena autis.[49] Sedangkan peneliti mendukung teori Ivar lovaas dan Hodgdon bahwa semakin cepat intrvensi dilakukan terhadap anak autis dengan pelayanan one by one teaching akan mempercepat perkembangan anak autis bertindak normal.
C. Teori Multikecerdasan (Multiple Intelgensia) Studi kecerdasan merupakan salah satu objek studi psikologi dimulai sejak 200 tahun lalu. Di mulai dari Frenologi Frans Joseph Gall (1758-1828), ahli fisiologi dari Wina yang meneliti hubungan antara karakteristik mental tertentu dengan bentuk kepala manusia.[50] Karya-karya frenologi Gall dan Spunrzheim pada awal abad 19 mencapai puncak popularitas di Eropa dan Amerika Serikat. Meski banyak salahnya, Gall sendiri adalah salah satu ilmuwan pertama yang menekankan bagian-bagian otak dan menjembatani fungsi-fungsi berbeda. Namun Howard Gardner hingga kini belum mampu menunjukan dengan tepat mengenai hubungan antara ukuran, bentuk dan fungsinya.[51] Tes kecerdasan pada awalnya, dilakukan oleh Galton dari Inggris (sepupu Charles Darwin) pada tahun 1884 dan selanjutnya terus dikembangkan untuk mengukur karakteristik manusia yang berbeda-beda. Namun tes tersebut lebih digunakan pada dunia pendidikan ketimbang dunia psikologi, dan para psikolog lebih banyak menggunakan jenis tes-tes kemampuan (tes of ability) dan tes-tes kepribadian (tes of personality).[52] Dalam dunia pendidikan, Plato dan hampir semua perintis pendidikan modern seperti Jean Jacgues Rousseou, Emile, John Heinrich Pestallozi dan lain sebagainya menyadari nilai penting pengajaran berbasis multikecerdasan. Pada abad 20, Maria Montessori dan Jhon Dewey mengembangkan sistem pengajaran yang didasarkan pada teknik yang mirip dengan teknik multikecerdasan termasuk di antaranya huruf timbul untuk diraba dan materi-materi yang disesuaikan dengan laju belajar anak (teori self-paced material). Paradigma pembelajaran yang lain dari Montessori, serta visi Jhon Dewey adalah kelas sebagi microkosmos masyarakat.[53] Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecerdasan merupakan kata benda yang berasal dari kata sifat, yaitu cerdas yang berarti; “sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, mengerti, dsb); tajam pikiran.”[54] Secara Terminologi Piaget mendefinisikan intelegensia sebagai pikiran atau tindakan adaptif.[55] Sedangkan kecerdasaan menurut Howard Gardner [56] adalah “kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu. Kecerdasaan sebagai kemampuan melakukan sesuatu yang bermanfaat dalam masyarakat.”[57] Lebih terperinci, menurutnya kecerdasan merupakan; pertama, kemampuan untuk menciptakan suatu produk yang efektif atau menyumbangkan pelayanan yang bernilai dalam suatu budaya. Kedua, sebuah perangkat ketrampilan menemukan atau menciptakan bagi seseorang dalam memecahkan permasalahan dalam hidupnya. Ketiga, potensi untuk menemukan jalan keluar dari masalah-masalah yang melibatkan penggunaan pemahaman baru.[58] Dan lebih ditekankan lagi sebagaimana dikutip Amstrong, bahwa “kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas memecahkan masalah dan menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah.”[59] Jenis-jenis kecerdasan yang dikemukakan oleh Gardner adalah; a. Kecerdasan Verbal-linguistik Gardner mengungkapkan bahwa bahasa adalah contoh kecerdasan manusia yang utama, yang diperlukan bagi masyarakat manusia.[60] Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi (bunyi bahasa), semantik (makna bahasa), dimensi pragmatik (penggunaan praktis bahasa).[61] Kecerdasan ini biasanya dimiliki oleh pendongeng, orator, politisi, pembawa acara, pembicara publik, penceramah, sastrawan, wartawan, editor, penulis skenario, dan sebagainya. Semenjak janin (fetus) yang normal berkembang pendengaranya masih berada di rahim, fondasi kecerdasan verbal-linguistik telah terbentuk sebelum kelahiran. Banyak studi, termasuk studi-studi para neonatologis, misalnya Thomas Amstrong Verney menunjukan bahwa bayi-bayi yang dibacakan, dinyanyikan dan diajak bicara sebelum lahir, memiliki awal yang utama dalam perkembangan kecerdasan verbal-linguistik.[62] Sedangkan menurut James, kecerdasan linguistik ditujukan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata, serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa.[63] Gardner juga menegaskan arti penting aspek retoris bahasa, atau kemampuan untuk meyakinkan. Kecerdasan linguistik juga mencakup kemampuan membaca, menulis, berbicara dan mengerti urutan serta artinya.[64] b. Kecerdasan Verbal Visual /Spasial . Kecerdasan visual spasial adalah kemampuan mempersepsi dunia spasial secara akurat (misalnya, sebagai pemburu, pramuka, pemandu) dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya, dekorator, interior, arsitek, seniman atau penemu). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada garis warna, bentuk, ruang dan hubungan antar unsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorentasikan diri secara tepat dalam matriks spasial.[65] c. Kecerdasan Logis Matematis Al-Qurān telah menjelaskan dengan mengindikasikan manusia harus mengembangkan kecerdasan logis matematisnya dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Misalnya, terdapat 115 ayat al-qurān yang memiliki term berasal dari kata “ ̒aqala” yang berbentuk “ ̒aqaluuhu” sebanyak 1 ayat, “ya ̒qilu” sebanyak 1 ayat, “ya ̒qiluun” sebanyak 22 ayat, ta ̒ qiluun”sebanyak 24 ayat, dan “na ̒qilu” sebanyak 67 ayat.[66] Secara historis Islam sangat akrab dengan jenis kecerdasan tersebut. Adanya dua sisi yang kontradiktif dalam setiap penciptaan-Nya seperti adanya siang malam, langit dan bumi, bulan dan matahari, dunia dan akhirat dan sebagainya menjadi stimulus pengembangan kecerdasan tersebut. Adanya term zakat, faroid, falak, Qiyas, mantiq menjadi bukti perhatian Islam yang tinggi pada kecerdasan logis dan matematis. Salah seorang matematikawan muslim al-Khawarizmi sangat berperan menciptakan angka “sifr” di samping ilmu Al-Jabar dan alogaritma (berasal dari nama al-khwarizmi) yang sekarang dikenal dengan logaritma. Tanpa adanya angka nol, komputer tidak akan bisa diciptakan, karena menggunakan sistem oposisi linier yang bergantung pada angka nol. Karya-karya pada abad kesebelas seperti Biruni Matematikawan Muslim telah diperkenalkan di Eropa Latin oleh Adelard dari bath melalui suatu adaptasi Ibrahim Ibnu Ezra pada abad keduabelas.[67] Para ulama Islam turut andil memberikan kontribusinya, sebagaiman disitir Aliah[68] bahwa perkembangan kognitif dapat diklasifikasikan berdasarkan empat periode, yang diturunkan QS al-Ruum, ayat :54. Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa perkembangan kognitif adalah pertama, dimulai dari periode perkembangan yang merupakan periode untuk mengembangkan kemampuan struktur kognitif dan atau skema yang terbentuk melalui organisasi dan adaptasi. Adaptasi terdiri dari proses asimilasi dan akomomodasi sehingga mencapai keseimbangan (equilibirium) dengan seimbangnya struktur pikiran dan lingkungan[69] sebagaimana QS al-baqarah: 31-33; kedua, periode pencapaian kematangan pemikiran dimana penalaran semakin berkembang, berpikir melalui proses berpikir logis dan abstraksi yang lebih kaya (QS. Al-QaS}as{ :14); ketiga, periode tengah baya dimana kematangan pemikiran menjadi lebih baik dan lebih memiliki kebijaksanaan juga lebih banyak melakukan evaluasi diri (QS. Al-Ahqaf: 15 dan QS. Fat}ir: 370, dan keempat, periode lanjut usia dimana terjadi berbagai penurunan kemampuan berfikir. Kemampuan untuk memusatkan perhatian, berkonsentrasi dan berfikir logis menurun (QS. al-Nahl dan al-Hajj: 6).[70] d. Kecerdasan kinestetis-jasmani: Kecerdasan kinestetis-jasmani adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya, sebagai aktor, pemain pantomim, atlet dan ketrampilan mengunakan tangan sesuatu menciptakan atau mengubah misalnya sebagi perajin, pematung, ahli mekanik, dokter bedah. Kecerdasan ini meliputi kemampuan-kemampuan fisik yang spesifik, seperti kordinasi, keseimbangan, kemanapun menerima rangsangan (proprioceptive) dan hal yang berkaitan dengan sentuhan (tactile & haptic).[71] Dalam literatur Islam, term kecerdasan memang sering digunakan ketika menjelaskan tentang salah satu kreteria para Nabi dan rasul dengan istilah “fathonah” Yang berarti cerdas. Meski dalam literatur Islam, istilah “multikecerdasan” secara spesifik belum terdengar, namun secara umum kecerdasan yang tercakup dalam jiwa menjadi kajian dalam term yang berbeda. Misalnya kajian tentang jiwa, daya dan akal yang marak dibicarakan para psikolog Islam klasik yang didalamya menurut penulis telah mencakup dasar-dasar multikecerdasan. Kecerdasan mendekati pemahaman Ibnu Sina tentang indera kolektif, karena menurutnya indera kolektif adalah daya kemana stimulus inderawi dikirim. Ibnu Sina meletakan indera kolektif pada bagian dalam pertama dari sisi depan otak.[72] Aspek-aspek tersebut merupakan komponen dasar [73] yang bersifat dinamis, responsif terhadap pengaruh lingkungan sekitar. e. Kecerdasan Musikal Kecerdasan musikal adalah kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi (sebagai penikmat musik) membedakan, mengubah, dan mengekspresikan, kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada atau melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Kecerdasan musik melibatkan sensivitas terhadap bunyi dan ritme, serta digunakan untuk mengenali, meniru, menghasilkan maupun menciptakan musik.[74] f. Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak-isyarat; dan kemampuan membedakan berbagai macam tanda interpersonal; dan kemapuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu (misalnya, mempengaruhi sekelompok orang untuk melakukan tindakan tertentu).[75] Perkembangan altruisme[76] pada seseorang sejalan dengan keterampilan dalam mengambil peran sosial. Dan empati adalah kontributor efektif yang penting terhadap altruisme. g. Kecerdasan Inrtapersonal Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri yang akurat (kekuatan dan keterbatasan diri); kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temeramen, dan keinginan, serta kemampuan berdisiplin diri, memahami dan menghargai diri.[77] Dengan demikian kecerdasan intrapersonal merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali dan mengembangkan potensi, serta mengekspresikan dirinya.[78] h. Kecerdasan Naturalis Kecerdasan Naturalis adalah keahlian mengenali dan mengategorikan spesies-flora dan fauna di lingkungan sekitar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan kepada fenomena alam lainya (misalnya, formasi awan dan gunung-gunung) dan bagi mereka yang dibesarkan di lingkungan perkotaan, kemampuan membedakan benda tak hidup, seperti mobil, sepatu karet, dan sampul kaset CD.[79]
D. Berkebutuhan Khusus (special needs) Pada periode Abad ke 18 dan sebelumnya Bangsa Cina berpedoman pada ajaran Confucius (500 SM) yang menekankan pendidikan harus diberikan bagi seluruh anak dalam segala lapisan tanpa memandang perbedaan kelas sosial.[80] Anak-anak tersebut harus dididik berbeda sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa (prodigies) yang berasal dari segala lapisan sosial dikirim ke kerajaan untuk dilatih dan dikembangkan lebih lanjut, sesuai dengan bakat yang dimiliki. Bangsa Cina juga telah menyadari kemampuan anak autis tidak akan berkembang penuh jika tidak diberikan pendidikan khusus. Dorongan diberikan karena mereka meyakini bahwa dorongan merupakan hal yang dianggap penting bagi anak yang dianggap lebih. Demikian pula di Jepang pada periode Tokugawa (1604), anak-anak desa yang miskin diberikan pelajaran untuk mampu bersikap setia, patuh, rendah hati, dan tekun. Adapun Anak-anak Samurai dididik bidang studi konfusius klasik, seni, sejarah, komposisi, kaligrafi, nilai, moral, dan etika.[81] Pada bangsa Yunani, khususnya di kalangan kelas menengah keatas, anak laki-laki di sekolahkan untuk dapat, membaca, menulis, berhitung, sejarah, seni dan kebugaran fisik. Setelah anak meningkat besar, guru-guru profesional dipangil ke rumah untuk memberikan bimbingan matematika, logika, retorika, politik, tata bahasa, budaya, umum, dan ketrampilan berdebat. Karakteristik pendidikan agama bertujuan menyerukan umatnya untuk merawat kondisi fisik struktur nafsani. Fungsi perawatan ini adalah untuk kelestarian aspek psikisnya dalam membentuk dan mengendalikan kepribadian. Metode perawatan aspek fisik dalam Islam dapat ditempuh melalui dua pola, yaitu pola positif dan pola negatif. al-Ghāzali menganjurkan pendidikan anak melalui pembiasan spiritual dan akhlak yang baik dalam kehidupan sejak dini. Pendidikan spiritual[82] merupakan bagian pendidikan yang memberikan pengaruh kuat pada kepribadian seseorang menjadikannya cenderung kepada kebaikan, berhias dengan sifat-sifat mulia, berpegang teguh dalam pribadi dan tingkah laku pada akhlak mulia dengan teguh dan konsisten, senang membantu yang lain dan cinta tolong menolong, memiliki jiwa yang tenang dan optimis, menghadapi hidup dengan jiwa positif serta tekad bulat tak tergoyahkan, meskipun rintangan dan problema menghambat upayanya untuk terus melangkah dengan memohon bantuan dari Tuhan, berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah, bahaya, kesempitan, serta meyakini bantuan dan taufik-Nya.[83] Kebutuhan jiwa keagamaan termasuk kebutuhan ruhani. Namun, kehidupan manusia pada kenyatannya, lebih mengutamakan perkembangan intelektual dan kognisi, dan kurang memperhatikan aspek ruhani serta nilai-nilai agama. Padahal, manusia membutuhkan aspek tersebut untuk keseimbangan hidup,[84] ketenangan, kebahagiaan, ketentraman dan terhindar dari gangguan jiwa. Ahmad Suhailah Zain al-Abudin Hammad menulis bahwa yang dimaksud dengan pendidikan spiritual adalah penanaman cinta Allah di dalam hati peserta didik yang menjadikannya mengharapkan ridha Allah di setiap ucapan, perbuatan, sikap, dan tingkah laku. Kemudian menjauhi hal-hal yang menyebabkan murka-Nya.[85] Pendidikan[86] dikatakan Islami apabila berinteraksi dengan fitrah keislaman yang telah dianugrahkan kepada manusia dengan baik. Tidak memberatkan kepada yang tidak mampu dan tidak membiarkan mereka taklif. Mendidik manusia[87]dan mengimbanginya antara kekuatan rohani dan kekuatan jasmani, tidak memberikan kekuatan terhadap kekuatan yang tidak mampu untuk dikerjakannya. Pendidikan[88] demikian itu, secara tidak langsung, menunjukan pendidikan kesesuaian dan keharmonisan antara beberapa kekuatan yang terdapat pada manusia. Keseimbangan yang akan diraih oleh manusia ialah keserasian dengan kehidupan manusia yang mulia. Al-Ihsan berusaha membina dan menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian spiritual dan potensi diri anak dengan penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik. Perintah shalat dimaksudkan agar jiwanya menjadi siap menghadapinya dan juga mempermudah tugas kita dalam mendidik dikemudian hari. Anak yang masih kecil biasanya masih harus di ingatkan dalam melaksanakan shalat pada waktu shalat telah tiba. Namun lain halnya dengan anak autis jika telah terbiasa dengan kedisiplinan dan komitmen, Ia akan segera melaksanakan shalatnya jika waktu shalat telah tiba tanpa harus diperintah, walaupun kadang pelajaran masih berlangsung. [89] Pendidikan dalam kehidupan sosial, Rasulallah menunjukan pentingnya mendidik anak untuk mampu mengendalikan emosi amarah, kemandirian dan keberanian diri. Pendidikan spiritual[90] merupakan bagian pendidikan yang memberikan pengaruh kuat pada kepribadian seseorang menjadikannya cenderung kepada kebaikan, berhias dengan sifat-sifat mulia, berpegang teguh dalam pribadi dan tingkah laku pada akhlak mulia dengan teguh dan konsisten, senang membantu yang lain dan cinta tolong menolong, memiliki jiwa yang tenang dan optimis, menghadapi hidup dengan jiwa positif serta tekad bulat tak tergoyahkan, meskipun rintangan dan problema menghambat upayanya untuk terus melangkah dengan memohon bantuan dari Tuhan, berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah, bahaya, kesempitan, serta meyakini bantuan dan taufik-Nya.[91] Ahmad Suhailah Zain al-Abudin Hammad menulis bahwa yang dimaksud dengan pendidikan spiritual adalah penanaman cinta Allah di dalam hati peserta didik yang menjadikannya mengharapkan ridha Allah di setiap ucapan, perbuatan, sikap, dan tingkah laku. Kemudian menjauhi hal-hal yang menyebabkan murka-Nya.[92] Pendidikan[93] dikatakan Islami apabila berinteraksi dengan fitrah keislaman yang telah dianugrahkan kepada manusia dengan baik. Tidak memberatkan kepada yang tidak mampu dan tidak membiarkan mereka taklif. Mendidik manusia[94]dan mengimbanginya antara kekuatan rohani dan kekuatan jasmani, tidak memberikan kekuatan terhadap kekuatan yang tidak mampu untuk dikerjakannya. Pendidikan[95] demikian itu, secara tidak langsung, menunjukan pendidikan kesesuaian dan keharmonisan antara beberapa kekuatan yang terdapat pada manusia. Keseimbangan yang akan diraih oleh manusia ialah keserasian dengan kehidupan manusia yang mulia. Al-Ihsan berusaha membina dan menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian spiritual dan potensi diri anak dengan penanaman nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik. Perintah shalat dimaksudkan agar jiwanya menjadi siap menghadapinya dan juga mempermudah tugas kita dalam mendidik dikemudian hari. Anak yang masih kecil biasanya masih harus diingatkan dalam melaksanakan shalat pada waktu shalat telah tiba. Namun lain halnya dengan anak autis jika telah terbiasa dengan kedisiplinan dan komitmen, Ia akan segera melaksanakan shalatnya jika waktu shalat telah tiba tanpa harus diperintah, walaupun kadang pelajaran masih berlangsung.[96] Setiap anak mempunyai hak maka untuk pendidikan anak autis agar lebih terarah dan sistematis peneliti ingin menggembangkan pendidikan religius anak autis dengan metoda lovas atu lebih di kenal ABA. Posisi pendidikan agama bagi anak autis merupakan usaha yang dilakukan untuk menimbulkan kebiasan dan tingkah laku yang baik sesuai dengan ajaran keyakinan masing-masing[97] Sebab pada dasarnya anak autis itu bersifat meniru dan kepatuhan serta kedisiplinan. Ibadah ritual adalah salah satu usaha agar dapat menekan anak autis memahami status dirinya sebagai makhluk tuhan yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk menyembah dan mengabdi sesuai dengan kadar dan kemampuanya. Ajaran Islam telah merespon kebutuhan manusia yang beragam tersebut melalui prinsip-prinsip pendidikan, yang memandang perlu aspek keseimbangan pendidikan. Agama membimbing manusia menuju tingkatan manusia bermartabat dan terhormat serta tidak terjerumus dalam kehidupan hewani.[98]Dengan demikian agama bukan sebagai dogma, tetapi agama adalah kebutuhan jiwa keagamaan yang harus dipenuhi. Sedangkan tujuan pendidikan agama Islam yaitu membina manusia untuk menjadi hamba Allah yang şalih dengan seluruh aspek kehidupanya, perbuatan, pikiran dan perasaanya.[99] Oleh karena itu, segala tingkah laku manusia diarahkan untuk merealisasikan ubudiyah kepada Allah SWT, dalam kehidupan, baik individu maupun masyarakat.
[3] Daniel Goelman, Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional mengapa EI lebih Penting daripada IQ (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 71.
[6] Peran korteks prefrontal untuk melepaskan rasa takut. Dalam kajian Richard Davidson, para sukarelawan diukur tanggapan peluh mereka (sebuah barometer kecemasan) sementara mereka mendengar suatu nada yang diikuti oleh suara keras yang menggangu. Suara keras itu memicu peningkatan peluh. Beberapa waktu kemudian nada itu sendiri sudah cukup untuk memicu peningkatan yang sama, menunjukan bahwa sukarelawan itu telah mempelajari penolakan terhadap nada tersebut. Sewaktu mereka terus-menurus mendengar nada itu tanpa suara yang menggangu, efek penolakan yang telah dipelajari menghilang nada itu berbunyi tanpa ada peningkatan peluh. Semakin giat korteks prefrontal kiri para sukarelawan itu, semakin cepat mereka kehilangan rasa takut yang telah mereka pelajari itu. Percobaan ini dilakukan oleh Maria Morgan, seorang mahasiswa Pascasarjana. New York University. Daniel Goelman, Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI ,72& 466.
[8] Linda Hodgdon, Solving Behavior Problems in Autism Improving Communication with Visual Strategies, 52.
[9]Catherine Maurice mendapatkan Doctor di Kesustraan Prancis tahun 1990, Behaviorial Intervention for Young Children With Autism ( 8700 Shoal Creek Boulevard: Austin, Texas, 1996), 385
[13] Agresif adalah kemarahan yang meluap-luap. Dan orang melakukan serangan secara kasar dengan jalan yang tidak wajar karena orang selalu gagal dalam usahanya, reaksinya sangat primitive, berupa kemarahan dan luapan emosi kemarahan yang meledak-ledak. Kadang-kadang disertai perilaku kegilaan, tindakan sadis, dan usaha membunuh orang. Kartini Kartono dan Jenny Andini, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam (Bandung: Mandar Maju, 1989), 57.
[14] Group atau kelompok anak jenis ini tidak berintraksi secara spontan, tetapi tidak menolak usaha interaksi usaha dari orang lain, bahkan kadang-kadang menunjukan rasa senang. Kelompok anak ini dapat diajak bermain bersama, tetapi tetap pasif. Anak ini dapat meniru bermain, tetapi tanpa imajinasi, berulang dan terbatas. Abdul Muis, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik (Bandung: Alfabeta, 2006), 51.
[15] Pusponegoro D, Autisme: Bagaimana Mengenal dan Menegakan Diagnosis (Bandung: Al-fabeta 2001), 45.
[16] Pendidikan khusus adalah pendidikan yang berbeda dengan pendidikan secara umum (regular), kebutuhan khusus dalam hal pendidikan bagi individu menggembangkan diri secara terarah dan maksimal, menggunakan strategi khusus yang terstruktur dan terencana untuk mencapai target perilaku atau target belajar, kurikulum khusus yang bersifat individual disesuaikan dengan kemampuan, kebutuhan, dan minat individu, dipergunakan bagi individu yang belum atau tidak dapat mengikuti kurikulum regular. Seminar Penangganan Anak Berkebutuhan Khusus, Learning Disabilities & Special Education (Jakarta: Lastri Fajriah, 2009), 4.
[17] Linda Hodgdon, Solving Behavior Problem in Autism Improving Communicattion with Visual Strategies. (Quirk Robert Publishing: Troy. Michigan, 1999), 251.
[19] Catherine Maurice, Behaviorial Intervention for Young Children with Autism (8700 Shoal Creek Boulevard, Austin, Texas, 199), 35.
[21] Catherine Maurice, Behaviorial Intervention for Young Children with Autism, 31.
[23] Catherine Maurice, Behaviorial Intervention for Young Children with Autism , 32.
[27] Puspita, D. “Terapi ABA yang Menyenangkan bagi ASD” (Makalah Lengkap: Konferensi Nasional Autisme I, 2003), 13.
[29]Thomas Amstrong, Multiple Intelegences in Clasroom, 7.
[31] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan ( Jakarta: RajaGrafindo, 2005), 271.
[32] Instruksi yaitu kata-kata perintah yang diberikan kepada anak pada suatu proses terapi. Instruksi pada anak harus jelas S-J-T-T-S: SINGKAT-JELAS-TEGAS-TUNTAS-SAMA. Suara instruksi harus cukup jelas namun jangan membentak atau menjerit. Singkat yaitu cukup 2-3 suku kata, jangan terlalu panjang karena tidak dapat ditangkap/dimengerti oleh anak, terutama yang autisma.Tegas berarti instruksi tidak boleh ditawar oleh anak dan harus dilaksanakan (kalau perlu di promt). Terapis harus bersikap seperti boss yang tidak semena-mena, dia harus menyayangi anak namun tidak boleh dimanjakan. Tuntas setiap instruksi harus dilaksanakan sampai selesai, jangan setengah jalan. Sama yaitu setiap instruksi dari tiga terapis harus memakai kata yang sama, jangan berbeda sekalipun. Apabila anak mencapai banyak kemajuan dalam program, maka generalisasi instruksi (kata-kata instruksi yang berbeda tapi maksudnya sama) juga harus dilakukan. David L. Holmes, Autism Throught the Life Span, 108.
[33] Prompt yaitu bantuan atau arahan yang diberikan kepada anak apabila anak tidak memberikan respon terhadap instruksi. Prompt dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menunjuk, dengan gerak tubuh, dengan pandangan mata ataupun dengan cara verbal. Reinforcement atau imbalan adalah hadiah atau “penguat” suatu perilaku agar anak mau melakukan terus dan menjadi mengerti pada konsepnya. Perlu sekali diperhatikan bahwa imbalan harus terkesan upah dan bukan sebagi suap atau soggokan. Sifat upah selalu konsisten setelah suatu tugas atau instruksi dan juga tidak di iming-iming. Imbalan tidak boleh diberikan sebagai suap untuk menghentikan suatu perilaku yang salah. Dari suatu penelitian didapatkan suatu kesimpulan bahwa suatu perilaku tertentu apabila diberikan imbalan lebih sering, dan apabila tidak diberi imbalan suatu perilaku akan semakin jarang dan terhenti. Setiap instruksi yang di respon secara benar oleh anak harus diberi imbalan yang tepat yaitu imbalan yang efektif. Ketidak-yakinan akan memperoleh imbalan ini akan menyebabkan anak tidak konsisten dalam melakukan hal-hal yang di instruksikan Hudojo, Herman. Strategi Mengajar Belajar Akuntansi (Malang: IKIP Malang, 1991), 55.
[39] Catherine Maurice, Behavioral Intervention for Young Children with Autism (8700 Shoal Creek Boulevard: Austin, Texas, 1996), 47.
[41] Catherine Maurice, Behavioral Intervention for Young Children with Autism, 34.
[42] Chris Williams and Barry Wright, How to Live with Syndrome ( Jakarata: Dian Rakyat 2004), 70. Lihat juga David. L Holmes, Autism Throught the Life Span (Woodbine House,1997), 18.
[47] David L. Holmes, Autism Throught the Life Span, 58.
[48] A Malik. Fadjar, dkk, Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia ( Jakarta: DEPAG, 1999), 22.
[50] Menurut frenologi, batok kepala manusia itu berbeda antara satu orang dengan yang lain-lainya, perbedaan bentuk batok kepala tersebut merefleksikan perbedaan ukuran dan bentuk otak, Lihat Agus Efendi, Revolusi Kecerdasaan abad 21, IQ, Kritik MI, EI, SQ, AQ & Succesul Inteleqence atas IQ (Bandung: Alfabeta, 2005), 51 dan Gary Hamel, Leading the Revolution (Massachusetts: Harvard Bussiness School, 2000), 20.
[51] Menurut para peneliti atas karya-karya best seller, frenologi Gall dan Spurzheim menunjukan 37 lokasi penting di otak lihat Howard Gardner, Frame of Mind, A Theory of Multiple Inteleqences (New York: Basic Book, 1983), 12.
[52] Tes kemampuan adalah tes yang fokus jawabanya menyangkut masalah yang dapat dikerjakan oleh orang-orang ketika, mereka berada pada situasi terbaik. Tes ini didesain untuk menggukur kecerdasan atau potensi daripada prestasi aktual. Sedang tes kepribadian didesain untuk memberi tahu seseorang mengenai karakteristik tersebut, tes tersebut mengukur sikap cara orang merespons orang lain, sesuatu, atau situasi emosional dan kognitif. Lihat. T Clifford Morgan, Richard A. King. Weisz John R. Jhon Shopler, Introduction of Psychology (New York: Mc graw-Hill, 1986), 517.
[55] Tokoh psikologi yang terkenal dan penting peranannya dalam dunia psikologi karena teori-teori, metode-metode dan bidang-bidang penelitian yang dikembangkan sangat orisinal, tidak sekedar melanjutkan hal-hal yang sudah terlebih dahulu ditemukan orang lain. Ia tertarik pada penyelidikan teoritis maupun eksperimental terhadap perubahan-perubahan kualitatif pada struktur kognitif selama proses perkembangan, dan mencoba menerangkannya dalam bahasa matematik logis. Sarlinto W. Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. ke-2. 101-102.
[56] Howard Gardner lahir di Scranton, Pennsylvania Amerika Serikat pada tahun 1943. Howard Gardner mendapatkan gelar profesor di bidang pendidikan kognisi Universitas dari the University of Louisville’s Grawemeyer Award di bidang pendidikan Pascasarjana Harvard. [www.georgejacobs.net/MIArticles/Gardner%20ASCD%201999.doc. Accessed June 15, 2008].
[57] Bob Samples, Opening/wholemind: Parenting and Teaching Tomorrow’s Children Today (diterjemahkan dengan judul Revolusi Belajar untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain untuk Membuka Pikiran Anak-anak Anda, (Bandung: Kaifa, 2002), 141 dan Lihat Howard Gardner, The Frame of Mind.
[58]Dewi Salma Prawira Dilaga and Eveline Siregar, Mozaik Teknologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), 362.
[59]Thomas Amstrong, Multiple Intelegences in Clasroom, Virginia: Association For Supervission and Curriculum Devlopment (ASCD), 2002 diterjemahkan oleh Yudhi Murtono, Sekolah para Juara: Menerapkan Multiple Intelgences di Dunia Pendidikan (Bandung: Kaifa, 2003), Cet. Ke-3, 2.
[60] Linda Campbell dkk., Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences (Jakarta: Intiusi Press, 2006), cet. ke-2. 10.
[61] Fonologi adalah pengetahuan tentang sistem suara yang dipergunakan dalam bahasa dan merupakan aturan untuk mengkombinasikan suara-suara tersebut, semantik adalah pemahaman tentang unit dasar bahasa (morfem) yang mepresentasikan arti kata dan kalimat, sintaksis adalah aturan untuk mengkombinasikan kata-kata menjadi frase atau kalimat yang berarti, dan pragmatik adalah prinsip bagaimana bahasa dipergunakan dalam situasi sosial yang berbeda, Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan, 220.
[62] Linda Campbell dkk, Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelegences (Jakarta: Intiusi Press, 2006), cet. ke-2. 10.
[64]Thomas Amstrong, Multiple Intelegences in Clasroom, 71.
[65]Thomas Amstrong, Multiple Intelegences in Clasroom, 3.
[66] Siti Khadijah, Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan (Jakarta: Perpustakan Pascasarjana UIN, 2008), 106.
[67] Medi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education (Colorado: University of Colorado Press, boulder, 1964), diterjemahkan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Kontribusi Islam atas dunia Intelektual Barat; deskripsi analisis abad keemasan Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1995),259.
[68] Aliah. B Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap Rentang Kehidupan dari Prakelahiran hingga Pascakematian (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 135.
[69]Aliah . B Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami; Menyingkap Rentang Kehidupan dari Prakelahiran hingga Pascakematian (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), 137.
[70] Siti Khadijah, Implementasi Multikecerdasan di Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami Jakarta Selatan (Jakarta: Perpustakan Pascasarjana UIN, 2008), 107.
[71]Thomas Amstrong, Multiple Intelegences in Clasroom, Cet. Ke-3, 19
[72] Ibnu Sina, al- Najat, (Kairo: Dār al-Iẖya, 1325 H), h. 256 dan Ibnu Sina, Aẖwal al-Nafs al- Naṯīqah (Kairo: Dār al-Iẖya,tt), 61.
[73] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. Ke-5, 101-102.
[76] Dalam Kamus besar Bahasa indonesia artinya sebagai paham sifat yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan Egoisme) dan arti lainya adalah sikap manusia yang bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusi lain. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), 28.
[80] Reni Akbar Hawadi, Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 30.
[81] Reni Akbar Hawadi, Identifikasi Keberbakatan Intelektual Melalui Metode Non-Tes (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), 31. Lihat Anderson, 1975.
[82] ‘spirit’ atau ‘spiritual’ perspektif Toni Buzan, konsep keseluruhan tentang spirit berasal dari bahasa latin, Spiritus, yang berarti nafas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk energi dan karakter. Ini juga menyangkut kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat, keberanian, dan tekad. Kecerdasan spiritual, tegas Buzan menyangkut cara menumbuhan dan mengembangkan kualitas-kualitas tersebut. Lihat Tony Buzan, The Power Of Spiritual Intelligence: 10 Ways in to Top Into Your Spiritual Genius (New York: Harper Collins, 2002), 1. xxi.
[83]Abd al-Hamid al-Shaid al-Zintani, Uşus al-Tarbiyah al-Islāmiyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah. (Tunis: Al-Dār al-Arabiyah li al-Kitab. 1993), 326.
[84] Keseimbangan hidup berarti menjalankan kehidupan sesuai dengan fitrah yang telah diciptakan Allah SWT. Yaitu aqidah Tauhid. Terwujudnya keseimbangan antara fisik dan ruh pada manusia merupakan syarat penting untuk mencapai kepribadian harmonis untuk menikmati kesehatan jiwa, yaitu jiwa yang tenang (al-nafs al-mutmainnah). M. Usman Najati, al-Ḥadits al-Nabawi wa ‘ilmu al-Nafs (Beirut Dār al-syūruq, 1993), 6.
[85] Ahmad Suhailah Zain al- Hammad, Mas’aliyah al-Usrah fi Tahsim al-Syabab min al-Irhab, (Lajnah al-Ilmiah li al-Mu’tamar al-Alami al-Maufiq al-Islam min al-Irhab, 2004M/1425H), h.4
[86] Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut: The process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc, especially by formal scooling (Azizy 2003), 18. dalam bahasa arab Pendidikan yaitu Tarbiyah, adalah membimbing seorang anak didik dengan bimbingan yang sebaik-baiknya dan merawat serta memperhatikan pertumbuhan badannya, mengarahkan dan membina akhlak anak sampai ia berpisah dengan masa kanak-kanaknya. Dalam bahasa al-Ghalayani menyebutkan bahwa pendidikan adalah penanaman yang mulai pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasehat, sehingga ia memiliki potensi manusia dan kompentisi-kompentisi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak. Baca, Imam Zarkasyi, Pendidikan adalah sutu upaya untuk mempengaruhi orang dengan mempergunakan segala macam pengaruh yang telah dipilih, agar dapat membantu anak menuju kesempurnaan jasmani, akal dan akhlak, agar bisa mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat dan semua yang dikerjakan itu mengacu kepada keyakinan dan kesempurnaan, serta lebih membawa maslahat bagi masyarakat. “ al- Tarbīyah wa al-Ta’lim” (Ed, revisi1999 ), 1.
[87]Tujuan pendidikan Islam secara global, yaitu: (1) pembentukan akidah yang benar bagi manusia; (2) pengajaran ibadah yang benar; (3) penumbuhan keinginan saling mengenal sesama manusia; (4) menyebarkan spirit kerjasama; (5) bekerja untuk memakmurkan bumi; (6) mengajari manusia bagaimana berkomitmen; dan (7) mengajari manusia bagaimana membangun rumah tangga muslim. Baca, Mahmud (1995), 29.
[88]Ada tiga aliran dalam pendidikan, Pertama, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memasukan (mentransformasikan) nilai-nilai, pengalaman, keterampilan dan sebagainya dari generasi tua kepada generasi muda. Kedua, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan, mengarahkan, membimbing dan membina potensi dan bakat si anak agar tumbuh dan berkembang serta berdaya dalam rangka menolong kehidupannya di masyarakat. Ketiga, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan disamping mentransformasikan nilai-nilai, pengalaman, keterampilan dan sebagainya juga menumbuhkan, mengarahkan, membimbing, dan membina potensi dan bakat anak. Lihat. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Jakarta : UIN, 2005), 605.
[89] Wawancara dengan Ibu Evi Eliza. S.P seorang terapis yang telah kurang lebih sebelas tahun menangani anak autis. Senin 7 September 2009. Jam 12.30. di Yayasan Al-Ihsan jl. Villa Melati no. 10. Serpong Tanggerang.
[90] ‘ spirit’ atau ‘spiritual’ perspektif Toni Buzan, konsep keseluruhan tentang spirit berasal dari bahasa latin, Spiritus, yang berarti nafas. Dalam dunia modern kata itu merujuk ke energi hidup dan sesuatu dalam diri kita yang bukan fisik, termasuk energi dan karakter. Ini juga menyangkut kualitas-kualitas vital seperti energi, semangat, keberanian, dan tekad. Kecerdasan spiritual, tegas Buzan menyangkut cara menumbuhan dan mengembangkan kualitas-kualitas tersebut. Lihat Tony Buzan, The Power Of Spiritual Intelligence: 10 Ways in to Top Into Your Spiritual Genius (New York: Harper Collins, 2002), 1. xxi.
[91]Abd al-Hamid al Shaid al-Zintani, Ușus al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah (Tunis: Al-Dȃr al Arabiyah li al-Kitab. 1993), 326.
[92] Ahmad Suhailah Zain al- Hammad, Mas’aliyah al-Usrah fi Tahsim al-Syabab min al-Irhab, (Lajnah al-Ilmiah li al-Mu’tamar al-Alami an Maufiq al-Islam min al-Irhab, 2004M/1425H),.4
[93] Pendidikan dalam pengertian bahasa disebut: The process of training and developing the knowledge, skills, mind, character, etc, especially by formal scooling (Azizy 2003), 18. dalam bahasa arab Pendidikan yaitu Tarbiyah, adalah membimbing seorang anak didik dengan bimbingan yang sebaik-baiknya dan merawat serta memperhatikan pertumbuhan badannya, mengarahkan dan membina akhlak anak sampai ia berpisah dengan masa kanak-kanaknya. Dalam bahasa al-Ghalayani menyebutkan bahwa pendidikan adalah penanaman yang mulai pada jiwa anak yang sedang tumbuh dengan cara memberi petunjuk dan nasehat, sehingga ia memiliki potensi manusia dan kompentisi-kompentisi jiwa yang mantap, yang dapat membuahkan sifat-sifat bijak. Baca, Imam Zarkasyi, Pendidikan adalah sutu upaya untuk mempengaruhi orang dengan mempergunakan segala macam pengaruh yang telah dipilih, agar dapat membantu anak menuju kesempurnaan jasmani, akal dan akhlak, agar bisa mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat dan semua yang dikerjakan itu mengacu kepada keyakinan dan kesempurnaan, serta lebih membawa maslahat bagi masyarakat. “al- Tarbiyah wa al Ta’lim” (Ed, revisi,1999 ), 1.
[94]Tujuan pendidikan Islam secara global, yaitu: (1) pembentukan akidah yang benar bagi manusia; (2) pengajaran ibadah yang benar; (3) penumbuhan keinginan saling mengenal sesama manusia; (4) menyebarkan spirit kerjasama; (5) bekerja untuk memakmurkan bumi; (6) mengajari manusia bagaimana berkomitmen; dan (7) mengajari manusia bagaimana membangun rumah tangga muslim. Baca, Mahmud. (1995), 29.
[95]Ada tiga aliran dalam pendidikan, Pertama, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya memasukan (mentransformasikan) nilai-nilai, pengalaman, keterampilan dan sebagainya dari generasi tua kepada generasi muda. Kedua, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan, mengarahkan, membimbing dan membina potensi dan bakat si anak agar tumbuh dan berkembang serta berdaya dalam rangka menolong kehidupannya di masyarakat. Ketiga, aliran yang mengatakan bahwa pendidikan disamping mentransformasikan nilai-nilai, pengalaman, keterampilan dan sebagainya juga menumbuhkan, mengarahkan, membimbing, dan membina potensi dan bakat anak. Lihat. Abuddin Nata, Pendidikan Islam di Era Global (Jakarta : UIN, 2005), 605.
[96] Wawancara dengan Ibu Evi Eliza. S.P seorang terapis yang telah kurang lebih sebelas tahun menangani anak autis. Senin 7 September 2009. Jam 12.30. di Yayasan Al-Ihsan jl. Villa Melati no. 10. Serpong Tanggerang.
[97] Nabi Muhammad SAW berkata kepadaku. “wahai Anakku, jika engkau ingin mengisi pagi dan soremu untuk tidak memiliki sifat menipu kepada seseorang di hatimu. Maka lakukanlah.”Kemudian Nabi berkata kepadaku.“wahai anakku, itu termasuk dari sunnahku, siapa yang menghidupkan sunnahku berarti dia sungguh mencintaiku, dan siapa yang mencintaiku, maka ia bersamaku di surga.” ( HR. Tarmizi)
[99] Prinsip-prinsip pendidikan Islam menurut Zakiyah Darajat bahwa pendidikan Islam: 1) mencakup semua demensi manusia sebagaimana ditentukan oleh Islam; 2) menjagkau kehidupan di dunia dan akhirat secara seimbang; 3)memperhatikan manusia dalam seluruh gerak kegiatanya serta mengembangkan daya hubungan dengan orang lain; 4) berlangsung sepanjang hayat, mulai dari janin dalam kandungan sampai akhir hayat. Baca Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet. 2, 36.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar